Frensia.id – Solusi yang tertukar adalah ungkapan untuk menggambarkan situasi saat ini, dimana Pemerintah nampaknya kurang tepat dalam memberikan solusi atas masalah yang dialami bangsanya.
Jika obat yang tertukar saja dapat berakibat fatal meninggalnya seseorang, maka solusi yang tertukar akan membuat masalah kian larut membesar.
Bukanlah jalan keluar yang didapatkan namun masalah baru kian bermunculan. Solusi yang tertukar itu ialah pemerintah terlalu berbaik hati pada korban judi online dengan memasukkan mereka pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk mendapatkan bantuan sosial (bansos) sebagai upaya meringankan beban mereka.
Pada saat yang sama Guru honorer yang jelas-jelas berjasa mendidik dan mencerdaskan anak banga hingga saat ini belum terfasilitasi dengan sempurna. Pilar yang mencerdaskan anak-anak Indonesia ini, mendidikan sekaligus mengabdi, mengajar dengan cinta, hanya diromantisasi dengan ungkapan pahlawan tanpa jasa.
Banyak guru honorer yang hanya menerima gaji yang rendah sekalipun mereka sudah mengabdi bertahun-tahun.
Seperti dilansir dari bbcnewsindonesia.com, salah satu guru honorer yang mengajar selama 10 tahun dengan penghasilan jauh dari kata cukup. Ia adalah Sari, guru honorer di kalimantan Barat yang hanya mendapat gaji dari dana BOS sekitar Rp. 400 ribu setiap bulannya atau setara dengan 35 ribu setiap jamnya.
Bukanlah yang tidak mungkin hal yang sama dirasakan oleh guru honorer ditempat-tempat yang lain. Guru honorer yang sudah mencintai pekerjaan mulya tersebut meskipun apresiasi pemerintah tak sepadan dengan pengabdiannya pada pendidikan negerinya. Namun sampai kapan berlarut demikian, uluran tangan dari pemerintah menjadi penolongnya
Pemerintah semestinya cemas dan serius memikirkan kesejahteraan guru honorer yang kian tahun selalu menjadi isu yang diperbincangkan. Setidak-tidaknya setiap hari pendidikan ataupun hari guru setiap tahunnya isu kesejahteraan guru honorer selalu didengungkan, itu penanda negara belum seutuhnya memikirkan kesejahteraan guru honoerer.
Ironisnya, negara justru memfasilitasi korban judi online sebagai penerima bansos. Ali-alih bikin orang lepas dari ketergantungan judi online, malah berwelas asih memberikan bantuan.
Selain salah kaprah memberikan solusi, pemberian bansos tersebut menurut Eva Achjani Zulfa, pakar Hukum Pidana Universita Indonesia (UI) di lansir kompas.com sama halnya memberikan narkoba gratis terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika.
Pemerintah mestinya memutus mata rantai judi online memberikan rehabilitasi dengan melakukan pencegahan serta perlunya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya judi online dengan kampanye edukasi yang massif. Sebab itulah wacana bansos bagi matan pemain judi online ini menuai kritik publik.
Jika pemerintah ingin memberikan kado semestinya kado yang menyenangkan bukan bikin kaget semua orang. Bukankah sebaiknya bansos semacam ini diberikan kepada guru honorer, ditengah kondisi mereka yang masih terpaksa mengambil pekerjaan lain seperti petani, dagang dan lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Satriawan Salim, Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengatakan, guru honorer masih menjadi kelompok masyarakat dengan kesejahteraan rendah. Gaji terendah sebasar Rp. 300 ribu dan tertinggi 1 juta, banyak dari mereka terlilit pinjol hanya nyambi profesi lain untuk bertahan hidup.
Berdasarkan temuan survei IDEAS dan GREAT Edunesia, masih banyak guru yang tidak pernah mendapatkan bansos. Hasil survei Mei 2024 tercatat jumlahnya sebanyak 63,2 % guru. Hanya 36,7 % guru yang pernah mendapatkan bansos, itupun tidak semuanya dari pemerintah.
Ditengah solusi yang tertukar inilah, pemerintah perlu memikirkan uang mengenai wacana bansos korban judi online. Guru honorer ditengah ketidakpastian nasib kesejahteraan akan akses keadilan dan kelayakan yang didapat mereka dengan tidak mengenal lelah dan andil besar mencerdaskan anak-anak Indonesia, bansos lebih tepat diberikan kepada mereka.
Andai kata mereka ikhlas mengajar, cukup ikhlas tersebut menjadi urusan mereka dengan Tuhan dan agamanya, persoalan kesejahteraannya menjadi urusan dan harus diurusi oleh pemerintah. (*)
*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah)