Frensia.id- Di hari H pemilihan kepala daerah, suasana desa selalu ramai dengan pembicaraan yang beragam. Bagi beberapa penduduk desa, pilkada adalah saat yang tidak hanya dipenuhi oleh ketegangan, tetapi juga oleh canda dan tawa. Seperti saat itu, masyarakat berkumpul di kedai kopi, di tepi jalan, atau di lapangan, mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan para calon pemimpin daerah mereka.
“Calon itu sepertinya akan menang. Lihat saja, berduyun-duyun orang datang ke rumahnya sampai berjubel” adalah salah satu bentuk basa-basi sembari menyeruput kopi. Obrolan seperti ini, memang seringkali menjadi pembicaraan yang menghangatkan suasana. Di desa, hasil pemilihan kepala daerah tidak hanya tentang siapa yang lebih mumpuni, tetapi siapa lebih dekat dengan masyarakat dan pandai dalam menjalin kedekatan.
Namun, tidak semua percakapan berjalan lancar dan bahagia. Ada juga yang menggoda dengan suara setengah serius, “Janji-janji dari para calon itu seperti air yang sudah dicampur gula, manis untuk sejenak, tapi kemudian menghilang.” Sindiran ini mengingatkan akan kenyataan pahit yang sering terjadi setelah pemilukada — janji-janji yang tak kunjung ditepati. Beberapa orang di desa bahkan sudah sangat paham mengenai hal ini, menyebutkan dengan jelas berbagai janji calon yang tidak pernah terealisasi pasca mereka terpilih.
Di tengah obrolan ini, isu uang dalam politik selalu menjadi topik yang tidak pernah terlewatkan. “Tentu ada uang untuk imbalan, biasa masyarakat menyebut istilah tongket (settong saeket) atau satu suara, lima puluh ribu. Jika tidak, siapa yang akan datang ke tempat pemungutan suara, terutama yang lokasinya jauh?” Basa-basi yang kerap kali muncul setiap pemilukada. Ihwal Ini, memperlihatkan kenyataan pahit yang terjadi dalam banyak pemilihan, khususnya di desa-desa.
Praktik ini masih banyak ditemukan, terutama di beberapa wilayah tertentu, meskipun terdapat peraturan yang melarang politik uang. Seperti yang dijelaskan oleh M. EZA Helyatha Begouvic dalam risetnya Money Politik Pada Kepemiluan Di Indonesia, SOL justicia, (202), fenomena ini muncul karena ada kelemahan dalam penerapan hukum yang berlaku. Selain itu, pengaruh budaya setempat juga membentuk pandangan masyarakat terhadap politik uang.
Masyarakat menganggap politik uang sebagai salah satu cara untuk mendapatkan dukungan dalam pemilu. Praktik ini sudah dipandang sebagai hal yang umum. Bahkan, seringkali dianggap sebagai bagian dari proses pemilihan yang sah, meskipun tidak dinyatakan secara langsung.
Namun, selain obrolan mengenai kandidat dan janji-janji manis para calon, seringkali perbincangan tentang pilkada juga diwarnai dengan lelucon mengenai keunikan anggota tim sukses. “Si A dari tim sukses itu, saat berbicara, bisa membuat orang terpesona. Tetapi ketika dihitung-hitung, yang hadir di rumah ternyata hanya segelintir orang saja. Itu adalah gambaran tentang bagaimana warga desa melihat keramaian yang diciptakan oleh tim sukses yang sering kali sangat berbeda dari realitas yang ada.
Pilkada sebenarnya lebih dari sekadar perayaan demokrasi, ia juga merupakan kesempatan bagi penduduk desa untuk saling bertukar cerita, tertawa bersama, dan kadang-kadang merenungkan sejenak apa yang benar-benar mereka inginkan dari pemimpin yang bakal terpilih. Namun, yang jelas: percakapan itu selalu mengalir, santai, dan dipenuhi dengan kebijaksanaan yang tersembunyi di balik setiap guyonan.