Oknum Pesantren Nikahi Siri Perempuan Dibawah Umur : Otoritas Kyai dan Keterpasungan Keadilan Perempuan

Selasa, 25 Juni 2024 - 19:57 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id – Baru-baru ini beberapa media mengabarkan pengurus pesantren menikahi secara siri perempuan dibawah umur tanpa sepengetahuan orang tuanya.

Sontak pernikahan sirri tersebut membuat ayah dari gadis perempuan marah ketika anaknya diisukan hamil padahal putrinya tidak pernah menikah.

Setelah diselidiki anaknya dinikahi secara diam-diam oleh pengurus pondok pesantren (Ponpes) di Kecamatan Candipuro, Lumajang. Lebih menyedihkan pernikahan sirri tak ubahnya hanya sebatas pelampiasan birahi si pengurus pesantren — lebih etis sebut oknum pesantren– yang berhidung belang itu.

Hal itu terlihat si oknum pesantren atau pelaku dengan korban tidak tinggal serumah layaknya suami istri pada umumnya.

Seperti dilansir Detik.com lembaga perlindungan anak dan juga pendamping korban, Daniel menjelaskan meski sudah nikah siri namun korban tidak tinggal serumah dengan terduga pelaku. Pelaku biasanya hanya memanggil korban saat hendak melampiaskan syahwatnya.

Ironisnya, oknum pesantren atau pelaku hanya memberikan uang tunai 300 ribu sebagai mahar nikahnya serta di iming-iming akan diberikan kesenangan. Bujuk rayu yang dilancarkan pelaku membuat luluh hati gadis perempuan dibawah meskipun tanpa sepengetahuan orang tuanya.

Fenomena semacam ini tentu bukanlah yang baru, dari beberapa informasi yang dihimpun berbagai media, misalnya tahun 2023 aksi pencabulan dengan modus nikah sirri terjadi di sebuah pondok pesantren di Desa Wonosegoro, Kecamatan Bandar.

Baca Juga :  Meluruskan Makna Kemanusiaan

Korban diduga berjumlah puluhan santriwati setempat, mereka ada yang masih duduk di bangku SMP dan sebagian masih mengenyam pendidikan SMK. Modus yang dilancarkan dengan memanggil santriwati yang berparas cantik ke ruangan dengan dinikahi secara siri atau diam-diam tanpa ada saksi hanya dilakukan pengasuh dengan korban.

Tentu, realitas semacam itu masih banyak yang belum terungkap ke publik. Pada konteks ini, perempuan — khususnya dibawah umur — sebagai pihak inferior yang pasti dirugikan. Meskipun absah di mata agama Islam, nikah sirri tidak diakui oleh negara.

Apalagi perbuatan oknum pesantren yang kerap kali menggunakan nikah sirri untuk melegitimasi nafsu birahinya atas nama agama tidak bisa digolongkan dengan nikah sirri seperti dalam pengertian (tarif) fiqh. Sebab dalam pelaksanaanya mereka menikahi korbannya tanpa memenuhi syarat dan rukun pernikahan.

Nikah sirri yang memenuhi ketentuan syariat saja hari ini memiliki impact negatif bagi perempuan dan — jika ada — anak. Keadilan perempuan akan terpasung, ia tidak memiliki keabsahan untuk menuntut hak-haknya, sulit bahkan tidak mendapatkan perlindungan hukum.

Begitu juga anak yang terlahir dari nikah sirri, ia dipastikan mengalami kendala rumit dalam mengurus administrasi identitas kenegaraan dan akses hukum. Jika tidak tepat mendapatkan suami dalam institusi nikah sirri ini, maka pernikahannya tidak lebih sekedar eksploitasi perempuan berkedok agama.

Baca Juga :  Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Terlebih dilakukan oknum pesantren yang sama sekali tidak memenuhi standar ketentuan syariat, namun dibungkus dali agama seperti menghindari perbuatan zina. Padahal secara tidak langsung tindakan tersebut sudah sepadan bahkan melampaui perbuatan keji tersebut.

Pesantren seharusnya menjadi benteng untuk menolak nikah sirri yang mengandung mafsadat ini. Dengan kaidah fiqih yang menjadi patokannya mencegah mafsadat harus lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.

Otoritas kyai punya andil besar dalam menekan tinggi dan massifnya angka nikah sirri, utamanya kalangan kyai pedesaan. Sebab tidak bisa dipungkiri lewat mereka pernikahan sirri terjadi. Oleh karena itu semestinya kyai dengan otoritasnya mengarahkan masyarakat untuk menikah secara resmi.

Jika kyai memiliki komitmen dan konsistensi menolak nika sirri dan menyarakan nikah resmi secara negara lambat laun akan menyadarkan masyarakat akan dampak negatif nikah siri. Sehingga dapat menggeser perilaku masyarakat dari menikah siri untuk disahkan secara negara.

Sebab terkadang masyarakat masih lebih percaya dengan kyai daripada hukum negara, sekalipun hukum negara bertumpuk tidak akan memberikan implikasi signifikan tanpa ada dorongan kyai dengan segala otoritasnya. (*)

*Moh. Wasik (Anggota LKBHI UIN KHAS Jember, Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah)

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Meluruskan Makna Kemanusiaan
Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan
Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi
Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 
Negara atau Rentenir? STNK Mati, Motor Ikut Pergi
Evaluasi Flyer Pemerintah di Website Media: Menimbang Maslahat dan Mafsadat dalam Komunikasi Publik

Baca Lainnya

Jumat, 18 April 2025 - 06:34 WIB

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Rabu, 16 April 2025 - 06:32 WIB

Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Rabu, 2 April 2025 - 13:20 WIB

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan

Selasa, 1 April 2025 - 08:23 WIB

Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Jumat, 21 Maret 2025 - 23:34 WIB

Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi

TERBARU

Opinia

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Jumat, 18 Apr 2025 - 06:34 WIB

Kolomiah

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II

Kamis, 17 Apr 2025 - 12:29 WIB