Operasi Kekuasaan

Rabu, 29 Januari 2025 - 19:58 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

kursi simbol kekuasaan (Ilustrasi: Arif)

kursi simbol kekuasaan (Ilustrasi: Arif)

Frensia.id- Jika monarki adalah sistem berkuasa berdasarkan nasab, maka selain monarki bisa menjadi kesempatan bagi siapapun yang leluhurnya bukan seorang raja untuk memegang tampuk kekuasaan. Entah dengan cara apa, ia bisa mengkoordinir dan mengkonsolidasikan dirinya agar mendapatkan mahkota yang direbutkan banyak orang itu. Tetapi jelas saja prosesnya bukan lagi dengan cara seksama dan tempo yang sesingkat-singkatnya.

Berliku, banyak jebakan, perhitungan dan kemungkinan-kemungkinan yang tidak disadari ataupun disadari kalau hal tersebut mungkin ternyata diluar kendali. Proses administrasinya mungkin bisa terhitung dan terukur tetapi agar benar-benar diakui luar-dalam oleh orang banyak tidak cukup terbentur sekali sampai tiga kali, jelas tidak terkirakan hingga akhirnya terbentuk sebuah legitimasi.

Rumit sekali watak kekuasaan dan liar. Tidak ada treatmen untuk menjinakkan, sampai era kapanpun sepertinya akan terus begitu. Beberapa pengamat menuliskan temuannya atas kekuasaan, dari mereka yang terlalu jujur untuk menjelaskan justru ditentang oleh kalangan moralis, hal ini yang alami oleh Niccolo Machiavelli.

Diplomat asal Italia dan penulis Il Principle ini nenelanjangi bagaimana kekuasaan bekerja dan dipraktikkan oleh para politisi. Buku yang ia tulis sangat layak untuk dibaca oleh mereka yang hendak meraih atau sedang dalam tampuk kekuasaan. Apabila menganggap tulisan orang Italia ini buku setan, toh mereka yang telah berkuasa juga sering kesetanan dan berlebihan dalam menggunakan jabatannya yang fana tersebut. 

Salah satu literasi lain yang amat penting dan fasih ketika berbicara kekuasaan adalah novel yang ditulis oleh George Orwell yang berjudul 1984. Sebuah fiksi yang pertama kali terbit pada tahun 1949 ini menyuguhkan bagaimana kekuasaan bekerja, mengintai, mengatur pola pikir dan perilaku.

The New Yorker menyebut karya terakhir dari George Orwell ini “mendalam, mencekam dan menawan”, cara-caranya mengembangkan teori kekuasaan begitu brilian. Narasi yang novelis Inggris ini tuliskan tidak lebih dari pengamatannya terhadap kondisi dunia saat dihantui oleh totalitarianisme, di Jerman dan Itali ada fasisme, disisi yang lain komunisme berpostur raksasa mencengkeram kuat di Uni Soviet dan Cina.

Baca Juga :  Ekoliterasi dan Tafsir Hijau Quraish Shihab

Sebagai cerita yang bersifat futuristik, yakni semacam ramalam pada tahun yang sama dengan judul novel. Pada tahun tersebut, dirilis filmnya, sebagaimana pada umumnya film yang diadaptasi dari sebuah novel, tampak menawarkan kekecewaan. Akan tetapi ada sebuah kalimat menarik pada menit-menit awal dari film, “siapa yang ingin mengendalikan masa kini, ia harus mengendalikan masa lalu”.

Ungkapan ini bukan sekedar komposisi dari kata-kata saja, mengandung teori bagaimana kekuasaan beroperasi. Setidaknya, efek dari kuasa bagi seseorang yang mampu mengklaim masa lalu untuk mendapatkan privilige dalam kehidupan sosial.

Pemerintah Hindia Belanda pernah mempraktikkan apa yang diucapkan oleh Orwell, jauh sebelum novelnya terbit. Untuk mengaktifkan rasa inferioritas terhadap bumi sebagai upaya untuk meredam dan menawan pikiran untuk memberontak, maka dipesanlah sebuah karangan yang menceritakan immoralitas leluhur Nusantara.

Salah satunya adalah serat Pararaton, sebuah cerita yang mengisahkan Ken Arok dan kerajaan Singosari. Seperti yang diketahui proses suksesi kepemimpinan yang diceritakan dalam serat tersebut berlalu dengan darah mengalirkan darah secara terus menerus dan asal usul dari orang yang bernama Ken Arok, diceritakan sebagai orang rendahan.

Tindakan yang tidak baik dan asal-usul orang nomer satu kerajaan ini menyediakan pemahaman bahwa leluhur yang ningrat dari penduduk tanah Jawa adalah sosok yang tidak bisa dijadikan refensi dalam bertindak lebih-lebih sebaiknya terlupakan.

Jelas pandangan ini, secara spontan akan menekan kebanggaan dan rasa solidaritas sesama penduduk domestik yang mempunyai ikatan historis yang sama.  Pengendalian tanah jajahan dimulai dari pikirannya dengan mematikan fantasi-fantasi untuk melawan.

Baca Juga :  Faizal Assegaf di X: Jokowi Bikin Hancur, Prabowo Melanjutkan

Tidak jauh berbeda dengan bursa kepangeranan di Jawa, yang diperoleh dengan cara mengklaim nasab, bahwa ia merupakan keturunan lembu peteng. Seseorang yang mampu mencari dan menjelaskan silsilah keturunannya jika dirinya mempunyai trah Majapahit, pertama tumbuh dalam diri rasa superioritas dari yang lain dan kedua langsung atau tidak langsung orang tersebut akan memperoleh atau menagih keistimewaan dalam konteks sosial. Minimal percaya diri mencalonkan sebagai Kades.

Hal tersebut merupakan upaya-upaya untuk mengaktifkan kembali kehendak akan berkuasa atau dalam cara lain upaya untuk mendapatkan legitimasi dari masa lalu, entah manipulatif atau tidak bukan soal. Apakah dapat dibenarkan? Katanya John Lily dalam karyanya Euphues di tahun 1578 “semua adil dalam cinta dan perang”. Perang hari ini tidak lagi bagaimana mengangkat senjata, melainkan memastikan kepentingan politik yang difasilitasi kekuasaan bisa terlaksana.

Apabila kita amati hari ini, manifestasi mengendalikan masa lalu dapat dilihat dari para politisi yang mencari legitimasi dengan membawa nama bapaknya, hal ini lebih relatif mudah. Daripada menyambung-nyambungkan tali nasab sampai ke Brawijaya lebih ruwet, repot dan resiko apabila ternyata di kemudian hari terbukti keliru.

Beruntung bagi seseorang yang meniti karir di medan kekuasaan dengan memiliki orang tua politisi pula. Apabila tidak ada, setidaknya bisa dimulai dengan mengais dari bawah dengan cara apapun, sebagaimana lumrahnya juga begitu, sehingga bisa mewariskan legitimasi tersebut kepada anak cucu, dan jangan lupa pula agar mereka mencatatkan perjuangan bapaknya dalam buku sejarah.

Begitulah kekuasaan beroperasi, bahkan orang-orang yang tahu dirinya akan meninggalkan dunia fana ini, masih ingin mendapatkan pengakuan akan kedaulatan dirinya sekalipun dari alam barzakh.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Ramadhan, Setan Dipasung, Kenapa Maksiat Masih Subur?
Ramadhan dan Negeri yang Gemar Menunda
BBM Dikadali, Negara ke Mana?
Retret, Loyalitas, dan Ironi Omon-omon Efisiensi
Sebiji Beras, Sebait Shalawat
Cak Imin dan Revolusinya
Ekoliterasi dan Tafsir Hijau Quraish Shihab
Jatuhnya Nicolae Ceausescu, Pelajaran bagi Pemimpin Masa Kini

Baca Lainnya

Rabu, 12 Maret 2025 - 08:30 WIB

Ramadhan, Setan Dipasung, Kenapa Maksiat Masih Subur?

Selasa, 11 Maret 2025 - 12:23 WIB

Ramadhan dan Negeri yang Gemar Menunda

Kamis, 27 Februari 2025 - 10:00 WIB

BBM Dikadali, Negara ke Mana?

Selasa, 25 Februari 2025 - 12:10 WIB

Retret, Loyalitas, dan Ironi Omon-omon Efisiensi

Selasa, 25 Februari 2025 - 06:01 WIB

Sebiji Beras, Sebait Shalawat

TERBARU

Kolomiah

Ramadhan, Setan Dipasung, Kenapa Maksiat Masih Subur?

Rabu, 12 Mar 2025 - 08:30 WIB

Kolomiah

Ramadhan dan Negeri yang Gemar Menunda

Selasa, 11 Mar 2025 - 12:23 WIB

Religia

Tiga Tingkatan Puasa: Syariat, Thoriqoh, Hakikat

Selasa, 11 Mar 2025 - 10:05 WIB