Frensia.id – Mengambil nasehat/pelajaran tidak melulu melihat siapa yang mengatakan, namun pada aspek bagaimana substansi dari pesan yang terkandung dalam hikmah itu sendiri.
Kyai kampung misalnya, meskipun tidak mengenyam pendidikan pada level tinggi dan kata-katanya tidak mendaki-daki tapi nasehatnya penuh arti. Sehingga fatwanya senantiasa menjadi pijakan.
Terdapat kisah menarik dalam buku Orang Madura Naik Haji agitan Abdul Mukti Thabrani, disebutkan ada seorang yang berkeinginan berhaji, namanya panggilannya pak Marto. Ia mencari fatwa/nasehat sebagaimana saran temen koleganya agar hajinya tambah mantap.
Mula-mula ia mendatangi pak kyai kaya yang berkali-kali haji, namun nasehat dari kyai yang berulang jali ini tidak memuaskan pas Marto. Sebab bukan nasehat, justru lebih membanggakan dirinya yang setiap tahun haji. Kyai itu menilai dari keseringan haji, ia tak memiliki dosa.
Pak Marto tidak puas dengan jawabannya itu, akhirnya ia menemui kyai kampung miskin yang tidak pernah haji. Kyai kampung yang hanya mengajari Alif, Ba’, tTa’ dan hidup sederhana. Namun, siapa sangka fatwa kyai kampung ini lebih dalam dan luas wawasan.
“Haji itu ibadah babak final, yang hanya bisa diikuti oleh orang-orang yang lolos babak penyisihan shalat, zakat, dan puasa. Kalau yang tiga ini beres, dan bapak punya ongkos ke sana, ya, itu wajib hukumnya dilaksanakan. Orang Islam yang sudah mampu diwajibkan haji supaya wawasannya luas, melek budaya, think globally, act locally, berpikir global, bertindak lokal.” Nesahatnya kepada Pak Marto
Mendengar jawaban itu, pikiran kotor Pak Marto berkecamuk, ia berpikir kyai kampung miskin bisa bicara seperti itu karena ia miskin sehingga ia terlihat ikhlas. Coba ia kaya mungkin jawabannya sama dengan kyai yang pernah ditemui sebelumnya, membanggakan diri karena berkali-kali haji.
Ditengah berkecamuknya pikiran itu, ia kemudian menepis pikiran kotornya sendiri. Pak Marto menilai tidak ada hubungan miskin dan ikhlas. Banyak juga orang yang kaya bahkan levelnya sudah kaya raya –istilah gaulnya crazy rich– namun tetap ikhlas, seperti Sayyidina Utsman bin Affan Ra. dan Abdurrahman bin ‘Auf Ra. itu, sosok konglomerat dan pribadi yang ikhlas.
Kyai kampung yang tak pernah haji itu melanjutkan nasehatnya, tujuan haji itu kata Gusti Allah supaya kaum muslimin bisa ngalap manfaat sebesar-besarnya. Ya manfaat spritual, ekonomi, budaya, wawasan dan sebagainya, Liyasyhaduu manaafi’a lahum.
Makanya, selama ada di Tanah Suci, usahakan mengambil hikmah sebanyak banyaknya dari peristiwa yang dialami. Sadarlah bahwa manusia ini hanya setitik debu di padang pasir. Hanya Gusti Allah Yang Maha Besar.” Pungkas kyai kampung
Alhasil, dari kisah diatas tidak berlebihan jika berkesimpulan bahwa, banyak orang atau kyai kampung yang tidak pernah haji karena miskin namun ia paham makna ibadah haji. Sementara tidak sedikit orang berkali-kali berhaji justru tidak paham dengan makna haji yang pernah dilakoninya. (*).
Wallahu a’lam
*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Dar Falasifah)