Frensia.id – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menghadirkan fase baru dalam arsitektur pemilu nasional. Mulai 2029, pemilihan presiden dan legislatif tingkat pusat dipisahkan dari pemilihan kepala daerah dan legislatif daerah. Pemisahan ini didorong oleh alasan perlunya penyederhanaan proses, peningkatan kualitas demokrasi, serta pengurangan beban teknis bagi penyelenggara pemilu.
Langkah tersebut tentu menghadirkan pro dan kontra. Dalam menghadapi perubahan fundamental seperti ini, pendekatan yang bijak adalah tidak tergesa menyetujui, tidak pula terburu menolak. Evaluasi mesti dilakukan secara menyeluruh, baik dari sisi filosofi, konstitusionalitas, maupun teknis administratif.
Dalam dimensi normatif dan administratif, putusan ini menawarkan solusi terhadap berbagai persoalan yang selama ini membayangi pelaksanaan pemilu serentak. Pemilu dengan lima kotak suara secara bersamaan telah membebani sistem secara serius. Tragedi wafatnya ratusan petugas pada Pemilu 2019, kekeliruan logistik, serta kebingungan pemilih dalam menentukan pilihan menjadi potret nyata kompleksitas yang coba diurai melalui pemisahan ini.
Namun demikian, aspek kritis terhadap putusan ini tetap relevan. Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menilai keputusan MK tersebut tidak konsisten dengan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang sebelumnya menyerahkan model keserentakan kepada pembentuk undang-undang. Pemisahan pemilu juga berimplikasi konstitusional secara luas, mulai dari desain kelembagaan penyelenggara hingga tatanan masa jabatan hasil Pilkada 2024.
Di luar perdebatan yuridis tersebut, setidaknya terdapat tiga dimensi yang menunjukkan potensi kontribusi positif dari model pemisahan ini, tentu dengan syarat adanya kebijakan lanjutan yang terukur.
Pertama, pemisahan memberikan kejelasan fokus isu dalam kontestasi. Pemilu serentak kerap menenggelamkan isu-isu lokal dalam dominasi wacana nasional. Kepala daerah dan calon anggota DPRD sering kali hanya menjadi pelengkap dari kontestasi presiden dan DPR pusat. Pemisahan jadwal memberi peluang bagi pemilu lokal untuk benar-benar menjadi arena adu gagasan terkait pelayanan publik, pembangunan wilayah, dan pengelolaan sumber daya daerah. Namun, efektivitas ini sangat bergantung pada penguatan literasi politik warga dan peran media lokal dalam mengangkat isu-isu substantif.
Kedua, pemisahan membuka ruang perbaikan kelembagaan partai politik. Waktu yang lebih longgar antara pemilu nasional dan daerah memberi kesempatan untuk melakukan konsolidasi kader, rekrutmen calon yang berbasis integritas, serta proses seleksi yang lebih transparan. Namun, tanpa reformasi internal yang sistemik, pemisahan ini berisiko hanya memperpanjang dominasi figur populis dan memperkuat politik dinasti. Diperlukan mekanisme rekrutmen terbuka dan pengawasan publik yang aktif untuk mendorong partai menjalankan fungsinya secara lebih sehat.
Ketiga, pemisahan membantu menghindari keruntuhan administratif pemilu. Penyelenggara pemilu selama ini menghadapi tekanan logistik dan manajerial yang berat dalam skema lima kotak. Dengan sistem dua tahap, terdapat ruang yang lebih memadai untuk perencanaan teknis, pelatihan petugas, serta mitigasi risiko. Meski demikian, keberhasilan sangat ditentukan oleh kemampuan membangun infrastruktur teknologi informasi yang terintegrasi, serta kepastian data kepemiluan yang valid dan mutakhir.
Dalam konteks transisi, perhatian besar perlu diarahkan pada masa jabatan hasil Pilkada 2024 agar tidak menimbulkan kekosongan hukum maupun krisis legitimasi. Legislasi yang cermat dan dialog antar-lembaga menjadi kunci agar perubahan ini tidak menimbulkan ketegangan baru dalam tatanan ketatanegaraan.
Putusan MK bukanlah penyelesaian akhir, melainkan pijakan awal menuju perbaikan. Desain pemilu hanyalah alat. Kualitas demokrasi tetap ditentukan oleh bagaimana proses itu dijalankan secara jujur, terbuka, dan inklusif. Tanpa keseriusan dalam menata regulasi, membangun kelembagaan partai, dan memperkuat literasi pemilih, pemisahan ini hanya akan menjadi perubahan formil tanpa substansi.*