Perempuan Polos dan Politik

Senin, 14 Juli 2025 - 14:07 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perempuan Polos dan Politik (Ilustrasi: Arif)

Perempuan Polos dan Politik (Ilustrasi: Arif)

Frensia.id- Jika kekecewaan adalah bagian dari ekspresi kebebasan dan kebebasan berekspresi mendapatkan perlindungan dari negara, maka saya bisa menyimpulkan bahwa kekecewaan saya kepada sosok Cinta, diperankan oleh Dian Sastrowardoyo, dalam film Ada Apa Dengan Cinta (2002) dapat dibenarkan secara konstitusional. Rasa kecewa ini mirip-mirip ketika menonton film Dilan 1991 saat Dilan harus putus dengan Milea.

Hanya saja bedanya, jika dalam film Dilan 1991, kekecewaan terletak pada dunia fiksi dan berhenti disana. Sebuah film romantis remaja yang diangkat dari novel dengan judul sama ini memang oleh penulisnya, Pidi Baiq, ditutup dengan sad ending. “tujuan pacaran adalah untuk putus”, kata Pidi.

Berbeda dengan film Ada Apa Dengan Cinta, kekecewaan itu itu tidak terletak dan berhenti di dunia fiksi, melainkan di karenakan  dunia nyata. Film yang berkisah tentang cinta anak SMA antara Rangga, diperankan oleh Nicholas Saputra, dengan Cinta memberikan bekas fiksional, sebuah bayang-bayang imajiner apa itu romantisisme? Bagaimana proses benci kemudian jadi takut kehilangan?

Kecewa karena dunia nyata ini terjadi setelah mengetahui jika cinta atau Dian Sastrowardoyo menikah dengan Maulana Indraguna Sutowo pada tahun 2011. Seorang konglomerat, putra dari Ibn Sutowo mantan Dirut PT Pertamina era Orde Baru. Seorang yang mempunyai kekuatan politik berlebih dalam dunia persilatan.

Jadi bangunan megah fiksi romantik antara Rangga dengan Cinta seketika lebur tidak meninggalkan puing-puing. Seolah terdapat dunia paralel, antara yang fiksi dan nyata, yang romantik di dalam fiksi dibatalkan di dunia nyata. Lebih jauh yang romantik harus kalah dengan yang berharta di dunia nyata.

Lebih detailnya kekecewaan fiksional itu berakar dari pertanyaan, mengapa harus menikah dengan orang kaya, anak dari seorang Dirut era Orde Baru lagi? Jawabannya akan mencakup liputan selebriti. Hanya saja secara pribadi, bisa jadi kekecewaan itu berasal dari pengaruh lingkungan dan teman-teman saya dulu yang cenderung kiri dan mempunyai kiat-kiat memenangkan hati perempuan bermodalkan puisi, bukan harta. Sehingga ketika mengetahui orang kaya mampu memenangkan hati perempuan seolah dunia tidak adil.

Baca Juga :  Legitimasi Sistem Pendidikan

Lain daripada itu, kekaguman juga merupakan bentuk ekspresi dari kebebasan. Ia mengandung konotasi positif, berbeda dengan kekecawaan. Seperti halnya kekaguman saya kepada sosok Ibu Sinta Nuriyah Wahid, bukan karena ia istri Gus Dur, bukan pula karena ia masuk daftar 100 orang paling berpengaruh versi TIME dan sebagai seorang perempuan yang menerima tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia Adipradana pada tahun 2011, bukan pula karena menerima gelar doktor kehormatan dalam bidang sosiologi agama. Melainkan karena ia pernah menggantungkan atau dalam bahasa lain memberikan penolakan kepada Gus Dur.

Sebagaimana dalam teori memenangkan hati perempuan, jika seseorang perempuan tidak mengatakan ‘iya’ sebagai sebuah persetujuan atas cinta dari seorang laki-laki, maka apapun kalimat yang keluar adalah sama dengan ‘tidak’, laki-laki itu ditolaknya. Termasuk diamnya, alasan yang berbelit-belit, ini atau itu. begitu pula ketika si perempuan mencoba untuk menggantungnya dengan sebuah alasan.

Greg Barton, penulis biografi Gus Dur asal Australia memaparkan bagaimana Ibu Sinta Nuriyah tidak langsung menerima Gus Dur dengan sepenuh hati. masih saja berkelit dengan kalimat-kalimat diplomatis antara ‘iya’ dan ‘tidak’. Tidak adanya kejelasan bahwa dirinya ditolak dengan alasan yang diterima oleh akal, menjadikan Gus Dur pantang mundur. Seperti halnya kalimat berikut.

“mendapatkan teman hidup bagaikan hidup dan mati hanya Tuhan yang tahu”. sekalipun pada akhirnya luluh juga, tetapi perlu dicatat bahwa yang digantungkan dan tidak diberi kejelasan, lebih-lebih yang dibuat untuk terus berusaha keras adalah seorang putra dari Mentari Agama pertama. ayah dan kakeknya adalah tokoh nasional kemerdekaan. Tahun-tahun ketika Gus Dur mencoba untuk mendekati Sinta Nuriyyah adalah waktu tidak berselang lama setelah ayah dan kakeknya tersebut digelari pahlawan nasional. sedangkan ia masih saja berpikir antara menerima atau tidak, sembari membawa-bawa Tuhan. jelas ini karakter menarik. Ibu Sinta menerapkan sebuah kejujuran paling fundamental untuk dirinya sendiri.

Baca Juga :  79 Tahun Bhayangkara: Kita Butuh Polisi Pembela Kaum Lemah

Sikap ini juga bisa disebut sebagai bentuk lain dari sebuah kepolosan. Dimana seseorang tidak mengaitkan sebuah sikap dengan hal-hal partiular lain, lebih-lebih dalam menakar untung dan rugi. sebuah kepolosan yang memikat, hadir apa adanya.

Pada umumnya perempuan, atau bisa dikatakan sembilan dari sepuluh perempuan mempunyai karakter seperti ini. Mereka tampil apa adanya. Dengan kepolosannya membuahkan hasil bahwa perempuan dengan karakter seperti ini layak diperjuangkan dan dipercaya. Jarang sekali mereka membawakan kekecewaan. tetapi perlu diingat hanya sembilan dari sepuluh, jadi masih ada pengecualian.

Bicara perempuan polos yang dapat dipercaya, dalam arti yang lebih umum dan luas, yang mana ketika ingin bilang iya maka akan mengucapkan iya, ketka tidak akan mengucapkan tidak. Tidak aneh jika Gus Fawait memenangkan medan-medan politik dengan dukungan terbesar diberikan oleh para emak-emak, ibu-ibu muslimat, fatayat yang kesehariannya adalah mengurus rumah tangga dan beberapa sedikit diantaranya juga berkarir. Kemenangan tersebut tidak hanya barusan saja, tetapi sudah dulu saat ia melenggang di kursi DPRD Jawa Timur. Tidak salah jika Gus Fawait dalam sebuah kesempatan menyebut emak-emak menyumbang saham terbesar.

Tesis bahwa perempuan dengan kepolosannya lebih dapat dipercaya daripada laki-laki dalam konteks politik, sudah dibuktikan dan mendapatkan pembenaran dari ijtihad politik bupati Jember. Suatu gagasan yang tidak pernah dicatat oleh Machiavelli secara khusus. Dalam babakan politik di era modern apabila ada seseorang yang mencoba menjadi pengamat politik secara riil maka perlu kiranya ia menyelipkan satu bab khusus tentang perempuan. Perlu diingat perempuan polos, yang potensi memberikan kekecewaan sangatlah kecil. Sedangkan perempuan yang penuh gaya, banyak angan-angan bisa disama ratakan dengan laki-laki dalam dunia politik, bahkan bisa lebih berbahaya, yaitu mereka yang menggunting dalam lipatan, serigala berbulu domba, musuh dalam selimut.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Wadul Guse dan Paradoksnya
79 Tahun Bhayangkara: Kita Butuh Polisi Pembela Kaum Lemah
Perguruan Tinggi dan Bahasanya
Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa
Ekoteologi Dan Iman Yang membumi
Ramalan Il Principe
Legitimasi Sistem Pendidikan
Kepemimpinan dan Pembangunan Nasional: Untuk Rakyat Atau Elit?

Baca Lainnya

Senin, 14 Juli 2025 - 14:07 WIB

Perempuan Polos dan Politik

Jumat, 4 Juli 2025 - 08:05 WIB

Wadul Guse dan Paradoksnya

Selasa, 1 Juli 2025 - 14:01 WIB

79 Tahun Bhayangkara: Kita Butuh Polisi Pembela Kaum Lemah

Kamis, 26 Juni 2025 - 20:06 WIB

Perguruan Tinggi dan Bahasanya

Senin, 2 Juni 2025 - 23:32 WIB

Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa

TERBARU

Perempuan Polos dan Politik (Ilustrasi: Arif)

Kolomiah

Perempuan Polos dan Politik

Senin, 14 Jul 2025 - 14:07 WIB

Owner Balad Group, Khalilur R Abdullah Sahlawy (kanan) (Sumber foto: istimewa)

Opinia

Menjinakkan Keliaran

Sabtu, 12 Jul 2025 - 14:54 WIB

Kepala Dispora Jember, Edy Budi Susilo saat diwawancarai (Sumber foto: Sigit)

Politia

Jember Lakukan Evaluasi Menyeluruh Pasca Porprov ke-IX Jatim

Kamis, 10 Jul 2025 - 11:55 WIB