Petani, Penolong Negeri Dalam Bayang-bayang Ketidakadilan

Frensia.id – Petani, dielu-elukan sebagai tulang punggung dan pahlawan yang menyuburkan negeri ini, tapi anehnya mereka terlupakan. Padahal, kalau mau sadar tanpa petani, perut rakyat yang mendiami tanah air ini sudah lama kosong. Baik itu petinggi negara beserta keluarganya, pengusaha maupun rakyat biasa.

Tidak heran, jika pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari berpandangan bahwa petani adalah pahlawan, dalam sebuah tulisan yang diterbitkan pada masa penjajahan Jepang seperti dilansir dari Nu.Online, menyebut petani sebagai “penolong negeri”. Mereka adalah gudang kekayaan, penyokong segala keperluan bangsa.

Ungkapan itu disampaikan oleh Kyai Hasyim, seorang ulama terkemuka yang telah memberikan kontribusi besar bagi Indonesia. Pernyataan tersebut tertulis dalam Soeara Moeslimin Indonesia, No. 2 Tahun ke-2 (1944), dan disampaikan dengan penuh kejujuran serta ketulusan, tanpa ada kepentingan pribadi. Ketika seorang ulama kharismatik seperti Kyai Hasyim menyatakan bahwa petani adalah penopang negara, itu menunjukkan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan.

Lalu, dimana tempat mereka hari ini? Mungkin mereka masih di lahan yang sama, namun cukup disayangkan, mereka masih hidup dalam garis kemiskinan. Berdasarkan survei Terpadu Pertanian 2021 yang dilansir oleh CNN Indonesia, kesejahteraan petani Indonesia masih dibawah rata-rata, bahkan pendapatannya kurang dari 15.207 perharinya atau dibawah 5 juta dalam setahun.

Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (Celios), mengurai enam faktor yang memicu kemiskinan petani, dari biaya produksi yang melonjak, tengkulak yang merajalela, hingga infrastruktur yang tak sesuai kebutuhan. Realitas tersebut, nasib petani terjepit diantara harga beras yang terus meroket dan biaya produksi yang semaki tak terkendali. Mereka juga terhimpit oleh rantai pasokan yang amat panjang, lahan yang makin menyusut dan kebijakan impor yang menghancurkan peluang mereka.

Bayangkan seperti apa ironinya, petani yang hidup di negara agraris -katanya- masih sering mengeluarkan uang untuk pupuk dan pestisida dengan harga yang melangit. Menjual gabahnya kepada tengkulak dengan harga yang tak sebanding.

Bhima menyebutkan, praktik tengkulak yang mengambil kesempatan posisi tawar petani lemah membuat mereka semakin tidak pernah mencicipi hasil keringatnya. Pasalnya saat harga gabah naik, keuntungan tetap dinikmati tengkulak, bukan petani.

Bagaimana mungkin petani, yang setiap hari tanpa henti membajak tanah demi kesuburan negeri ini, tidak disebut sebagai penolong bangsa yang terlupakan, jika kenyataannya memang demikian?

Direktur Celios tersebut menjelaskan, idealnya seorang petani butuh lahan minimal dua hektare untuk memperoleh skala ekonomi yang layak. Ironisnya, mayoritas petani di Indonesia hanya memiliki kurang dari 0,8 hektare.

Persoalan petani tidak hanya berkahir di situ. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menambahkan bahwa akses terhadap kredit yang sulit dan sistem distribusi yang kacau turut menambah baban petani. Mereka harus menghadapi suku bunga tinggi dan modal terbatas, disisi lain teknologi dan inovasi masih sulit mereka jangkau. Memperlihat bagaimana sistem ekonomi yang belum berpihak pada petani, sementara tengkulak lebih banyak menumpuk keuntungan.

Padahal dalam UU No 19 Tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani pada pasal 3 disebut tujuannya adalah untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian Petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik. Melindungi mereka dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen.

Namun demikian, negeri ini tampaknya lebih mahir dalam menciptakan peraturan daripada menerapkannya. Keadilan dan kesejahteraan hanya menjadi pajangan dalam teks undang-undang. Meskipun keadilan telah dirumuskan, tanpa keberanian untuk mengimplementasikannya, hal itu sama saja dengan ketiadaan keadilan.

Dalam konteks ini, sekalipun perlindungan dan pemberdayaan petani diatur sedemikian komplit, petani tetap tidak mendapatkan keadilan, jika pemerintah tidak siap untuk melakukannya. Perlu merenungkan kembali pesan Kyai Hasyim yang menempatkan petani sebagai sendi tempat negeri ini berdiri.

Pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan yang berpihak kepada petani, seperti adanya pengaturan harga yang adil, menyediakan akses terhadap modal dan teknologi, serta menghapus praktik tengkulak yang merugikan. Selain itu, masyarakat juga harus pro aktif mendukung koperasi petani dengan membeli produk lokal.

Keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah ini diharapkan dapat mengatasi ketimpangan yang dialami para petani. Sehingga, pada gilirannya, mereka bisa keluar dari jurang kemiskinan dan meraih kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak mereka *

*Moh. Wasik (santri Dar Al Falasifah Institut, anak petani desa)