Frensia.id- Tragedi yang menimpa para guru honorer di Jember adalah potret buram ketidakadilan yang terus terulang. Mereka yang telah bertahun-tahun mengabdi, mendidik anak-anak bangsa di pelosok, kini dipaksa menghadapi kenyataan pahit: kelulusan mereka dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dibatalkan begitu saja. Tidak ada alasan yang jelas, tidak ada rasa hormat terhadap pengorbanan mereka.
Bagi Nasrullah, seorang guru honorer dari Kecamatan Wuluhan, ini bukan sekadar kabar buruk. Ini adalah hantaman telak yang meruntuhkan harapan. “Saya sudah mengabdi selama 14 tahun, harapannya kami bisa mendapatkan hasil yang diinginkan. Kami sudah melakukan penyiapan berkas, baik dari Rumah Sakit dan Kepolisian,” tuturnya, dengan nada getir, seperti dilansir dari Frensia.id. Apa yang dirasakannya adalah cerminan luka kolektif para guru honorer lainnya yang bernasib sama.
Kita berbicara tentang para pahlawan tanpa tanda jasa yang telah memberikan segalanya: waktu, tenaga, bahkan kebahagiaan keluarga mereka, demi sebuah pengakuan formal atas pengabdian mereka. Ketika akhirnya diumumkan lolos seleksi, ada kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Orang tua, kerabat, dan rekan-rekan mereka ikut bersukacita. Namun, kegembiraan itu hanya bertahan sekejap. Sebuah surat edaran mengubah segalanya, membatalkan kelulusan mereka dan memberikan posisi itu kepada pihak lain.
Apa yang sebenarnya terjadi di balik layar kebijakan ini? Pertanyaan itu menggantung, tak terjawab. Keputusan yang awalnya diumumkan sebagai final mendadak berubah tanpa alasan yang jelas. Panitia seleksi yang seharusnya memastikan transparansi malah meninggalkan jejak kelalaian. Tenaga Honorer Kategori 2 (K2), yang kabarnya harus diloloskan, justru menambah kompleksitas persoalan ini. Tidak ada yang salah dengan meluluskan K2, tetapi mengapa harus mengorbankan mereka yang sudah dinyatakan lolos?
Lebih menyakitkan lagi, keputusan sepihak ini menunjukkan betapa rendahnya penghargaan terhadap perjuangan mereka. Para guru ini bukan sekadar peserta seleksi; mereka adalah individu yang telah mengorbankan banyak hal demi melangkah ke tahap ini. Nasrullah Hadi, misalnya, telah menyelesaikan segala berkas administratif—dari surat keterangan sehat hingga catatan kepolisian. Bagi mereka, perjuangan ini bukan hanya soal administrasi; ini adalah soal hidup dan mati, soal harga diri dan pengakuan atas pengabdian yang tulus.
Apa yang diminta oleh para guru honorer ini sederhana: keadilan. Mereka tidak meminta keistimewaan, hanya meminta agar keputusan yang sudah diambil tidak diubah semena-mena. Namun, hingga kini, suara mereka seperti tenggelam di ruang kosong, tanpa jawaban yang memadai.
Tragedi ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kebijakan publik tidak boleh dibuat dengan ceroboh. Pengabdian tidak boleh diukur hanya dengan angka-angka di atas kertas. Jika keadilan bisa dibolak-balik seenaknya, apa yang sebenarnya tersisa dari sistem ini? Dan, yang lebih penting, siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengembalikan harapan mereka yang telah direnggut?
Mungkin, di tengah rasa kecewa ini, kita semua perlu bertanya: Apakah kebijakan seperti ini mencerminkan penghormatan kepada mereka yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan bangsa? Ataukah ini hanya bukti lain bahwa sistem yang kita miliki masih jauh dari kata adil?