Frensia.id- Di Indonesia, penghormatan terhadap keturunan Nabi Muhammad sangat tinggi. Sikap ini ditandai dengan cara masyarakat menghormati keturunan Nabi yang bergelar āHabibā, dengan berbagai cara seperti mencium tangan, mencari doa berkah darinya, mengikuti pengajiannya.
Namun, sikap ini membuka jalan penyimpangan. Beberapa waktu lalu, Tempo.co mengangkat fenomena ini dengan liputan khusus berjudul āobral gelar habibā, privilege ini dimanfaatkan oleh oknum demi memperoleh keuntungan dan penghormatan. Fenomena āmendewa-dewakan keturunanāā seperti ungkapan Prof. Syafii Maarif seperti dikutif fari Tempoāapakah sejalan dengan ajaran Nabi?
Islam mengajarkan agar mencintai, menghormati dan memuliakan keluarga Nabi, lagi pula tidak rasional umat Islam mencintai Nabi namun tidak mencintai keluarganya, itu satu paket. Problemnya adalah ketika terlalu mengkultuskan atau mengistimewakan keturunan Nabi yang berlebihan seperti ungkapan Prof. Syafii Maarif, mendewa-dewakan.
Dalam pandangan etis, menghormati keturunan bukanlah masalah, malah dianjurkan dan wajib. Pertanyaannya kemudian, siapa yang berhak mengaku keturunan dan dianggap keluarga Nabi? Apakah thanya terbatas pada orang arab dan keturunan beliau?
Untuk memahami ini, perlu melihat pandangan cendikiawan yang mampu membuka pemahaman memahami hakikat ākeluarga nabiā dengan lebih luas dan dalam. Salah satunya, pakar tafsir terkemuka tanah air, Prof. Quraish Shihab, ia mengatakan keluarga Nabi tidak terbatas bagi mereka yang memiliki Hubungan biologis dengan Nabi. Melainkan, seluruh umat Islam yang berpegang teguh menjalankan ajaran Nabi dengan penuh cinta.
āSaya ingin menganut faham yang memperluas makna keluarga Nabi. Siapa itu ? Orang yang dekat dengan Nabi. Umatnya itu keluarganya, bukan cuman orang Arab, bukan Cuma turunannya. Tutur Quraish Shihab dikutip dari Islam.co
Secara konkret, Quraish Shihab memberikan contoh Salman al-Farisi, salah satu sahabat Nabi kelahiran tanah persia, bukan orang Arab dan tidak juga keturunan Nabi, namun oleh Nabi diakui sebagai keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa siapa pun, dari negara manapun tempat lahirnya serta tidak ada hubungan biologis dengan Nabi, dapat dianggap sebagai keluarga Nabi.
Lebih lanjut, Pengarang Tafsir al-Misbah 15 jilid ini menegaskan kesempatan menjadi keluarga Nab juga berlaku bagi bangsa Indonesia. āOrang Indonesia itu keluarga Nabi, selama dekat dengan Nabiā Ujarnya. Jadi, muslim Indonesia punya hak yang sama dianggap sebagai keluarga Nabi, bukan dengan jalur biologis /keturunan, melainkan melalui amalan serta kecintaan pada ajarannya.
Tak perlu bersikap aneh-aneh, overdosis untuk diakui keluarga Nabi hingga menggunakan jalur gelap menjadi seorang habib. Cukup menjadi pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah, menjalankan ajaran Nabi serta menebarkan cinta dan kasih sayang, layaknya Nabi.
Sebagai keluarga Nabi, idealnya tak gila untuk dihormati, tidak memaksa orang lain untuk memuliakan. Meski demikian, perlu juga memuliakan keluarga Nabi, menghormati dalam kerangka etika yang sehat, tidak overdosis dan berlebihan. Penghormatan berlebihan bisa saja menjauhkan dari esensi ajaran Islam yang Nabi ajarkan.