Frensia.id- Inayah Wahid, putri dari KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, menulis sebuah puisi yang memancarkan kesedihan yang mendalam. Puisinya pernah viral dan dibacakan di Metro TV sekitar tahun 2010.
Puisinya tidak sekadar ungkapan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah tiada, tetapi juga merupakan sebuah perjalanan batin yang meresap ke dalam kesedihan, kekecewaan, dan kebingungan. Sebuah ratapan yang mencerminkan rasa kehilangan yang melampaui batas-batas hubungan pribadi, menyentuh aspek sosial, politik, dan spiritual yang turut mengiringi sosok ayahnya sebagai pemimpin bangsa dan simbol kebijaksanaan.
Puisi ini membuka ruang bagi kita untuk melihat luka yang dalam, luka yang tidak hanya timbul dari kepergian fisik seorang ayah, tetapi juga dari bagaimana dunia memperlakukan Gus Dur dengan cara yang kejam dan tidak adil.
Melalui bait-baitnya, Inayah seperti berbicara langsung kepada ayahnya, menanyakan berbagai ironi kehidupan yang ia saksikan, sambil meratap dalam ketidakpahaman atas segala peristiwa yang terjadi.
Seruan pertama Inayah dalam puisinya adalah panggilan yang sarat dengan rasa kehilangan. Kata “Bapak” terdengar begitu intim, namun di balik kelembutan panggilan ini, tersimpan rasa hampa yang mendalam.
Bagi seorang anak, panggilan kepada ayah adalah permohonan untuk mendapatkan perlindungan, nasihat, dan bimbingan. Dalam konteks ini, Inayah tidak hanya memanggil Gus Dur sebagai seorang ayah, tetapi juga sebagai guru yang pernah menjadi sandaran moral dan intelektualnya.
Kehilangan Gus Dur baginya adalah kehilangan arah, bagaikan perahu yang terombang-ambing di lautan tanpa kompas. Ia memohon untuk diajari, bukan hanya hal-hal duniawi, tetapi juga untuk memahami “ironi” yang begitu mendalam dalam kehidupan. Ironi ini muncul dari bagaimana dunia memperlakukan Gus Dur, seorang pemikir dan pemimpin besar, dengan begitu banyak ejekan dan hinaan. Ada perasaan getir yang menyelimuti setiap kata, seperti ada keputusasaan bahwa jawaban yang ia cari mungkin tak akan pernah datang. Namun, sebagai seorang anak, ia tetap memohon, dengan harapan kecil bahwa bimbingan ayahnya masih bisa ia rasakan, meski dalam keheningan setelah kepergian.
Gus Dur Dihina Karena Buta
“Pak… Kenapa Mereka Menghina?”, salah satu bunyi bait puisinya.
Dalam bait-bait selanjutnya, Inayah Wahid menggali lebih dalam ke dalam luka lama yang pernah dialami ayahnya. Ia berbicara tentang hinaan yang diterima Gus Dur ketika ia menjabat sebagai Presiden Indonesia. Masyarakat, atau sebagian dari mereka, menghina ayahnya karena kondisi fisiknya yang terbatas—karena ia buta, karena ia tidak bisa berjalan tanpa bantuan. Mereka berkata, “Presiden kok buta,” seolah-olah kebutaan itu menandakan ketidakmampuan.
Namun, ironinya, justru Gus Dur yang dengan segala keterbatasan fisik itu, mengajarkan kita untuk melihat dunia dengan cara yang lebih manusiawi. Ia mengajarkan kita untuk melihat manusia tanpa embel-embel jabatan, tanpa terikat pada suku, agama, atau harta. Gus Dur, dengan mata yang tak dapat melihat secara fisik, justru melihat lebih dalam daripada banyak orang yang memiliki penglihatan sempurna.
Bagi Inayah, ini adalah ironi yang begitu pahit—ayahnya, yang adalah seorang pemimpin besar dengan kebijaksanaan yang tak diragukan, justru dihina karena kekurangan fisik yang sama sekali tidak mempengaruhi kebesarannya.
Gus Dur Dilecehkan Karena Tak Bisa Jalan
Pukulan kedua bagi Inayah datang ketika ayahnya tidak hanya dihina karena kebutaannya, tetapi juga karena keterbatasannya dalam berjalan. Mereka berkata, “Presiden kok tidak bisa jalan sendirian,” seakan-akan tidak ada makna lebih dalam yang bisa diambil dari situasi tersebut.
Bagi Inayah, hinaan ini tidak hanya menyinggung keterbatasan fisik Gus Dur, tetapi juga melecehkan perjuangan ayahnya yang sebenarnya memimpin bangsa menuju jalan demokrasi yang benar.
Sebagai seorang pemimpin, Gus Dur membimbing bangsa ini menuju demokrasi dan keadilan yang sesungguhnya—jalan yang sulit dan penuh rintangan. Ironi dari pernyataan “tidak bisa jalan sendirian” ini terasa sangat menusuk karena, secara simbolik.
Gus Dur justru adalah pemimpin yang berani membawa bangsa ini ke jalan yang penuh risiko, meskipun secara fisik ia terbatas. Inayah, dalam rasa sedih yang begitu mendalam, mencoba memahami bagaimana ayahnya yang telah berjuang begitu keras untuk bangsa ini, justru dihina karena hal-hal yang seharusnya tidak relevan dengan kebesarannya sebagai seorang pemimpin.
Gus Dur Dikhianati Orang Yang Dibesarkannya
Di bagian ini, Inayah menyentuh salah satu luka terdalamnya. Ia bertanya kepada ayahnya mengapa orang-orang yang dulu didukung dan dibesarkan oleh Gus Dur, justru berbalik dan menjatuhkannya. Pengkhianatan adalah luka yang paling menyakitkan, dan bagi Inayah, ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Bagaimana mungkin orang-orang yang pernah diselamatkan oleh ayahnya, yang pernah menerima kebaikan dan bimbingan dari Gus Dur, justru kini berbalik melawan?
Inayah mempertanyakan, dengan penuh keputusasaan, apakah mereka yang pernah dibesarkan oleh Gus Dur telah melupakan ajaran-ajarannya tentang ketulusan dan pengabdian tanpa pamrih.
Pengkhianatan ini bukan hanya menghancurkan Gus Dur sebagai individu, tetapi juga menghancurkan keyakinan Inayah terhadap dunia. Di sini, ia merasa dunia ini begitu kejam dan penuh dengan orang-orang yang tidak bisa menghargai nilai-nilai luhur yang diajarkan ayahnya.
Di akhir puisinya, Inayah kembali kepada permohonannya yang tulus. Ia meminta agar ayahnya memberikan jawaban, meski hanya dalam mimpi atau melalui tanda-tanda kecil yang mungkin datang. Ada kesadaran dalam diri Inayah bahwa dunia ini semakin tidak bisa dipahami tanpa kehadiran Gus Dur di dalamnya. Ia merasa tersesat, seperti anak kecil yang kehilangan arah, dan memohon agar ayahnya memberikan bimbingan sekali lagi, meski dalam bentuk apapun.
Bait Lengkap Puisi Inayah Wahid;
Bapak…..
Boleh aku minta tolong diajari
Bantu aku memahami
Karena bapak kan katanya
Presiden paling pandai seantero negeri, intelektualitasnya sudah diakui
Mbok ya, anakmu ini diajari
Memahami semua ironi ini
Pak…
Kenapa dulu mereka selalu menghina
Presiden kok buta?
Padahal kenyataannya, bapak loh yang sebenarnya mengajari kita,
untuk melihat manusia seutuhnya
Tanpa embel2 jabatan atau harta, suku atau agama
Tak peduli bagaimana rupanya
Pak….
Kenapa dulu mereka melecehkan?
Mengatakan presiden kok tidak bisa jalan sendirian
Rakyat Indonesia menuju demokrasi dan keadilan yang sesungguhnya
Pak….
Bisa tolong jelaskan
Kenapa orang-orang yang dulu bapak besarkan, malah akhirnya menjatuhkan?
Menggigit tangan orang yang memberi mereka makan
Apa mereka telah lupa dengan yang bapak ajarkan, bahwa hidup adalah pengabdian
Yang tidak boleh meminta harta atau jabatan
Pak…
Tolong beri kami jawaban
Lewat mimpi atau pertanda
Lewat simbol juga akan aku terima
Pak…
Tolong pak, tolong aku diajari!
Jakarta, 2010