Frensia.id – Kisah perselingkuhan yang melibatkan Norma Risma dan suaminya dengan mertua kembali menjadi sorotan setelah kabar bahwa Wulan Guritno akan memerankan cerita ini dalam sebuah film.
Selain pemerannya yang dikenal luas, alur cerita yang tidak biasa ini mencuri perhatian karena jarang terjadi di Indonesia. Hubungan semacam ini mengejutkan banyak pihak, meski di beberapa belahan dunia, dinamika hubungan dalam keluarga—termasuk yang melibatkan aspek seksual—sering dikaji secara mendalam oleh para peneliti.
Fenomena ini menjadi pintu masuk bagi sejumlah akademisi untuk mengeksplorasi bagaimana keibuan memengaruhi seksualitas seorang perempuan.
Salah satu penelitian penting dilakukan oleh Beth Montemurro dan Jenna Marie Siefken, yang dipublikasikan pada 4 Januari 2012 dalam jurnal Springer Science+Business Media, LLC. Mereka menggali bagaimana keibuan dan daya tarik seksual sering kali tidak dikaitkan secara langsung dalam budaya Barat.
Dalam temuan mereka, Montemurro dan Siefken menjelaskan bahwa masyarakat cenderung melihat wanita yang telah menjadi ibu sebagai sosok teladan yang bertanggung jawab dan konservatif.
Peran ini membatasi pandangan bahwa seorang ibu juga memiliki kebutuhan dan hasrat seksual seperti individu lainnya. Stigma budaya tersebut membuat seksualitas ibu kerap dianggap sesuatu yang tidak relevan atau bahkan tabu.
Berdasarkan wawancara mendalam dengan 50 perempuan berusia 20-an hingga 40-an, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa keibuan membawa perubahan besar pada pengalaman seksual seorang wanita.
Setelah memiliki anak, banyak ibu merasakan perubahan signifikan dalam hasrat seksual, persepsi terhadap daya tarik fisik mereka sendiri, hingga cara mereka memandang seks. Kelelahan fisik, tanggung jawab yang berat, dan fokus pada peran keibuan sering kali membuat mereka merasa terputus dari sisi seksual mereka untuk sementara waktu.
Penelitian ini juga menyoroti bahwa eksklusivitas antara peran ibu dan seksualitas dapat membawa dampak serius. Tidak hanya memicu keterasingan seorang ibu dari seksualitasnya sendiri, tetapi juga dapat menambah stres dan memengaruhi hubungan dengan pasangan.
Ketidakhadiran atau menurunnya minat terhadap hubungan seksual berpotensi memperparah ketegangan emosional, baik pada diri ibu maupun dalam relasi rumah tangga.
Hal ini menegaskan bahwa keibuan tidak hanya membawa tantangan fisik dan emosional tetapi juga memerlukan adaptasi dalam cara wanita memandang dan mengekspresikan seksualitas mereka.
Para peneliti menggarisbawahi bahwa aktivitas seksual yang sehat tidak hanya penting untuk kesehatan fisik, tetapi juga menjadi bagian penting dari kesejahteraan psikologis ibu.
Kembali pada kasus perselingkuhan yang sedang viral ini, dinamika hubungan yang kompleks seperti itu bisa jadi tidak sepenuhnya lepas dari pengaruh perubahan dalam dinamika seksual seorang ibu.
Meski bukan pembenaran, hal ini setidaknya membuka wawasan tentang betapa pentingnya memahami perubahan kebutuhan dan ekspektasi dalam hubungan setelah keibuan.
Dalam budaya Indonesia yang sarat nilai keluarga, membicarakan hal-hal seperti ini mungkin masih dianggap tabu. Namun, memahami fakta ilmiah tentang perubahan-perubahan yang dialami seorang ibu dapat menjadi langkah awal untuk membangun hubungan yang lebih sehat dan harmonis.
Seiring film yang mengangkat cerita ini menarik perhatian publik, kisah Norma Risma tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga pengingat tentang pentingnya komunikasi, pemahaman, dan penghormatan dalam hubungan.
Pada akhirnya, terlepas dari stigma yang ada, setiap individu berhak atas kesejahteraan emosional dan seksual mereka, termasuk para ibu.