Penulis; Mashur Imam
Saat ini hal mendesak dari masalah-masalah globalisasi adalah ikut sertanya bangsa kita dalam menggapai keadilan dan perdamaian dunia. Globalisasi yang membuka ruang interaksi terbuka masyarakat dunia, telah membawa kita pada isu dan masalah global yang sama. Globalitas masalah ini juga terjadi dalam sistem pendidikan. Sektor pendidikan dipaksa untuk tidak sekedar mengambil peran “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya” (sebagaimana amanah UU Pendidikan kita). Lebih dari itu, perlu menghadirkan kembali amanah UU Dasar, yang berbunyi “melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Ada gerak perubahan orientasi yang dibutuhkan dan perlu tenaga besar dalam penyelenggaraan pendidikan kita saat ini. Sebab, dunia pendidikan yang baik saat ini, bukan yang dapat bersaing dalam kontestasi global saja. Bukan hanya yang dapat mengeluarkan sarjana dengan berprestasi internasional. Namun, yang dapat menjadi agen ketertiban yang dasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial di kanca global.
Era globalisasi awal, sekolah-sekolah dan tentu juga madrasah-madrasah berlomba meningkatkan kompetensi-kompetensi internasional peserta didiknya. Mendorong para siswanya untuk menguasai bahasa asing, teknologi modern dan semacamnya. Targetnya, agar generasi kita dapat bersaing di kanca global. Capaian ini sudah tidak dibutuhkan saat ini, sebab dunia global yang semakin tidak tentram dan aman, tak lagi membutuh generasi yang hanya mampu “bersaing dan bertarung” secara global. Saat ini kita butuh generasi yang mampu menjadi aktor perdamaian bukan aktor persaingan global.
Setidaknya ada empat isu yang dapat menyadarkan kita bersama, sebagai pakar dan pengelola pendidikan. Empat isu ini pernah diangkat menjadi tema besar G20 kemarin. Keempatnya adalah Pendidikan Berkualitas untuk Semua (Universal Quality Education); Teknologi digital dalam Pendidikan (Digital Technologies in Education); Ketiga: Solidaritas dan Kemitraan (Solidarity and Partnership); dan keempat, Masa Depan Dunia Kerja Pasca Pandemi Covid-19 (The Future of Work Post Covid-19). Keempat dapat dijadikan ruang lingkup dalam menggagas arah model pendidikan kita saat ini.
Pertama, Orientasi Universal Quality Education. Kualitas pendidikan kita, utamanya pendidikan Islam, perlu meng-upgrade standar kualitasnya. Ilmu pengetahuan di era globalisasi telah berkembang dengan pesat. Masing-masing negara, baik negara timur maupun barat, mengupayakan inovasi pengetahuan untuk berkontestasi secara global. Pada satu sisi, dapat dipandang positif sebab seluruh negara memacu masyarakatnya untuk menjadi pemenang dalam kontestasi pengetahuan. Akan tetapi pada sisi lain, kita harus menghadapi chaos dan perpecahan budaya pengetahuan. Perpecahan demikian yang secara rinci ditulis oleh Huntington yang menjelaskan budaya pengetahuan barat dan timur selalu berkontestasi.
Pada sisi ini, sudah saatnya, pendidikan kita tidak hanya berlomba-berlomba mencetak generasi yang dapat merukunkan pengetahuan. Tidak lagi menjadi aktor konflik pengetahuan, namun dapat menjadikan pengetahuannya sebagai jalan universalitas dalam mencapai kedamaian dan kesejahteraan dunia.
Kedua, Tentang Digital Technologies in Education. Pendidikan tidak lagi mengembangkan Digital Technologiessebagai arena dan alat perpecahan dan persaingan. Namun, mengembangkan dan memosisikannya sebai medium untuk menjalin kerukunan dan kesejahteraan masyarakat dunia.
Ketiga, Tentang Solidarity and Partnership. Memosikan dan membentuk nalar pendidikan yang berdasarkan persaudaraan dan kemitraan dunia. Artinya, penyelenggaraan pendidikan tidak dilakukan dengan hanya mengandalkan dan bertujuan pada pengembangan lokalitas saja. Pengembangannya perlu dilakukan secara terbuka dengan kesadaran kemitraan bersama dalam mencapai kesejahteraan global.
Keempat, Tentang The Future of Work Post Covid-19. Covid ’19 menjadi awal dan pintu yang memperlihatkan bahwa globalisasi tidak hanya melahirkan hubungan sosial yang terbuka. Globalisasi juga terbukti menciptakan masalah terbuka bersama. Untuk itu, covid’19 sebenarnya telah membantu konsolidasi keamanan dunia. Menyesuaikan dengan upaya demikian pula, pendidikan diposisikan sebagai medium konsolidasi keamanan dunia.
Garis besarnya, pendidikan tidak boleh lagi hanya dianggap sebagai mesin industri sumber daya manusia atas kebutuhan globalisasi. Lebih dari itu, sudah saat diposisikan sebagai mediator konsolidasi kesejahteraan masyarakat global. Begitupun dengan kelembagaan pendidikan agama, semestinya tidak hanya diandalkan sebagai produksi nilai dan karakter SDM. Lebih jauh dari itu, diharapkan dapat merekatkan konsensus strategi global untuk menyelesaikan masalah bersama yang terjadi.
- Penulis adalah Penanggung Jawab Dar Al Falasifah Institut
- Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Frensia.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.