Frensia.id- Riset Anies Baswedan pernah banyak membahas tentang kekuatan partai politik Islam di Indonesia. Dalam riset tersebut, disebutkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berideologi Islamis dan Golkar sekuler.
Anis Baswedan saat ini digadang-gadang maju Pemilihan daerah melalui PKS di DKI Jakarta. Ternyata ia pernah menulis partai tersebut sebagai gerbong gerakan politik Islam yang menyepakati formalisasi syari’ah sebagai aturan resmi negara.
Riset yang ditulisnya ini telah diterbitkan pada tahun 2004 dalam Asian Survei. Ia banyak berbicara partai Islam sepanjang perkembangan kehidupan politik di Indonesia.
Hal menarik dari pembahasannya adalah saat mengurai tipikal gerakan ideologis agama partai-partai politik 1950an hingga proses politik tahun 1998an. Ia merinci pola ideologinya secara sederhana dan rinci.
Dalam penjelasannya ada 6 partai besar yang dapat dikaji dan dibagi menjadi tiga kelompok besar. Dari enam partai yang pro-Islam, setidaknya ada tiga, yaitu PBB (Partai Bulan Bintang), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan PKS.
PPP dan PBB mengusung platform yang agak mirip dengan partai-partai Islam pada tahun 1950-an. Artinya, fokus pada penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan politik dan sosial.
Sementara itu, PKS, dalam agenda politiknya saat ini, tidak mendesak pembentukan negara Islam atau penerapan Syariah secara penuh. Karena itu, ia menyebutnya sebagai partai Islamis.
Adapun PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PAN (Partai Amanat Nasional) tampak memakai ideologi lebih terbuka. Ia menyebutnya sebagai berideologi Ilam Inklusif.
PKB secara resmi menganut ideologi Pancasila, namun sebenarnya berfungsi sebagai sayap politik NU (Nahdlatul Ulama). PAN, yang mirip dengan PKB dalam mempromosikan ideologi pluralistik, juga mendapat dukungan dari ormas Islam, Muhammadiyah.
PAN memiliki hubungan erat dengan Muhammadiyah, terutama melalui pemimpinnya, Amien Rais, serta banyak pejabat Muhammadiyah setempat yang menjabat sebagai fungsionaris PAN. Meskipun demikian, PAN tetap mempertahankan pluralismenya dengan mengakomodasi anggota non-Muhammadiyah dan non-Muslim.
Berbeda dengan Partai Golongan Karya (Golkar), baginya, partai ini juga memakai instrumen Islam. Ada fakta bahwa partai ini juga diperkuat oleh para santri.
Golkar memiliki banyak santri dalam kepemimpinannya dan di antara anggota legislatifnya tidak dapat dipisahkan dari perpecahan yang terjadi selama konvensi nasional partai pada bulan Agustus 1998. Di sana, pemilihan pemimpin partai sangat kompetitif dan terpolarisasi saling serang antar kelompok sekuler-inklusif vs. sekuler-eksklusif.