Runtuhnya Wibawa MA dan MK : Pengawal Dinasti Bukan Konstitusi

Frensia.id– Mahkamah Agung (MA) menjadi sorotan publik pasca mengubah syarat batas usia calon kepala daerah-wakil kepala daerah. Dalam banyak pemberitaan, pembacaan publik atas Perubahan putusan MA tersebut syarat dengan kepentingan bak membangun ‘jalan tol’ bagi Istana.

Publik menyakini putusan MA tersebut untuk memberi jalan bagi anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, menjadi salah satu kandidat dalam pilkada serentak tahun ini. Sekalipun narasi yang dibangun untuk memberikan anak muda berkiprah, itu hanya sebatas bumbu penyedap saja.

Perubahan MA tersebut tertuang dalam Putusan No 23 P/HUM/2024, dalam amar putusannya, MA mengubah ketentuan dari yang sebelumnya usia Cagub dan Cawagub 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon berubah menjadi setelah pelantikan calon.

Bacaan Lainnya

Sangat logis jika publik mengait-ngaitkan putusan MA ini dengan putra bungsu Presiden, sebab anak presiden yang digadang-gadang politikus muda ini lahir Desember 1994, dalam hitungan masehi saat penetapan paslon usia sang putra ‘dinasti’ tersebut masih berusia 29 tahun.

Gugatan ini dilayangkan oleh Ketum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana, yang notabene salah satu partai pengusung koalisi perubahan Prabowo-Gibran di laga Pilpres tempo lalu. Hal demikian semakin mengafirmasi kecurigaan publik atas jalan mulus MA untuk putra Presiden.

Ironisnya, MA tidak membutuhkan waktu lama menetapkan putusan ini, cukup hanya 3 hari saja syarat usia calon kepala daerah ini sudah berubah. Meskipun dasarnya asas cepat, namun putusan kilat tersebut nampaknya terlalu politis.

Asas cepat dalam perundang-undangan bukan hanya kecepatan tapi ketepatan dengan prinsip keadilan. Proses yang tidak biasa ini menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan besar bagi publik lantaran putusan yang terburu dan kilat.

Publik kembali diingatkan putusan MA ini terdapat kemiripan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan anak sulung Presiden menjadi orang nomor 2 di Indonesia.

Menurut Peneliti Institut For Advanced Research Universitas Atmajaya, Yoes C. Kenawas seperti dikutip Kompas.com menuturkan terlepas putusan itu diarahkan atau tidak, yang jelas putusan MA ini bisa dimanfaatkan Kaesang jika ingin menuju Pilgub.

Tak heran rumor yang beredar dimasyarakat, MK memudahkan kakak dan MA memudahkan adik. Sebagai lembaga tertinggi yudikatif,  wibawa MK dan MA diakui atau tidak kian runtuh, dinilai bukan lagi pengawal konstitusi dan undang-undang, melainkan pengawal dinasti atau istana.

Cukup disayagkan, keduanya yang sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut pasal 24 ayat 2 UUD 45 yang diharapkan menjadi pengawal keadilan, justru menjadi pengawal kekuasaan.

Tidak hanya ahistoris, putusan MA dan MK yang dinilai memberikan karpet merah bagi anak Presiden dinilai suatu sikap pragmatis dan menciderai keadilan.

Oleh Karena itu, mengingat kedudukan MK dan MA ini sangat penting sebagai pengawal konstitusi dan puncak peradilan negara tertinggi, sepatutnya harus menjaga marwahnya, sehingga kepercayaan (trust) rakyat tidak musnah. (*)

*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Dal al-Falasifah dan Penggiat Filsafat Hukum)