Frensia.id – Guru honorer sedang berduka, setidak-tidaknya mereka yang sedang berjuang mencari keadilan dibarisan Ibu Supriyani. Seorang guru honorer yang dituduh memukul siswa kelas 1 sekolah dasar (SD), dikabarkan anak tersebut putra dari seorang polisi. Kasus ini sedang menjadi sorotan publik, lantaran tak wajar hanya persoalan memukul seperti yang dituduhkan harus berujung pada meja hijau.
Dalam sebuah wawancara di salah salah satu stasiun tv, orang tua korban melakukan ini karena ia ingin mencari keadilan untuk anaknya. Namun, langkah ini tidak sedikit mendapatkan kritik, publik pun bertanya-tanya mengapa orang tua korban, yang merupakan anggota kepolisian, menempuh langkah tersebut.
Benarkah, proses hukum ini adalah jalur terbaik mencari keadilan, ataukah ini pertunjukan ketimpangan relasi kuasa, seorang anggota polisi yang jelas-jelas memiliki relasi kuasa lebih superior ketimbang seorang guru honorer? Sebagai anggota polisi, ayah korban memiliki peluang dan akses lebih besar pada jalur hukum. Sangat mungkin keadaan ini tidak selalu mudah ditempuh oleh masyarakat biasa, guru honorer misalnya.
Sepintas ini kasus ini tidak begitu rumit, serumit kasus korupsi, atua tindakan kriminalitas lainnya, ini bukan pembunuhan dramatis, hanya pemukulan bagi anak seperti pada umumnya dalam dunia pendidikan untuk sekedar mendisplinkan peserta didik. Ditambah lagi, ibu Supriyani dalam pengakuannya tidak pernah melakukan itu.
Pihak sekolah pun mengafirmasi hal tersebut, ibu supriyani yang sudah 16 tahun menjadi guru honorer dikenal orang baik, tidak pernah melakukan kekerasan bagi peserta didiknya. Pengacara Ibu Supriyani juga merasa janggal dengan kasus yang menimpa kliennya, pasalnya ibu Supriyani tidak pernah berinteraksi dengan anak tersebut pada saat kejadian.
Sumir, keadilan yang seperti apa? Apakah adil seorang guru dipidana oleh orang tua siswa hanya karena luka atau bengkak yang dilakukan guru untuk mendidik mereka? Kalaupun ada guru memukul siswa sampai luka, alternatif pengaduan orang tua siswa yang terbaik cukup mengadu pada pihak sekolah agar tidak terlalu keras mendidik siswa. Jangan, sok jago berlaga di pengadilan, ini bukan penjahat.
Apalagi seorang anggota polisi, ia dikenal sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, justru memberi preseden yang tidak baik. Imbas dari fenomena ini akan memperburuk sistem pendidikan, guru secara mental akan semakin getar-getir mendisiplinkan peserta didik.
Andai orang tua korban ini memilih tidak melaporkan, kesan dimasyarakat pendidikan semakin berwibawa. Orang tua siswa yang berprofesi sebagai polisi saja menerima tindakan disiplin dari guru terhadap anaknya, rasanya tidak pantas orang tua siswa lain merasa perlu memperotes?
Namun, siapapun punya hak untuk melaporkan jika merasa haknya terzalimi, terutama bila ia merasa anaknya mengalami perlakuan tidak adil. Termasuk orang tua korban dalam kasus ini, mereka punya hak membawa ibu Supriyani, salah satu guru dimana anaknya bersekolah ke meja pengadilan. Meskipun langkahnya dianggap berlebihan, siapapun tak bisa melarangnya.
Setiap orang tuannya, tentu tak ingin melihat anaknya mendapat perlakuan tidak adil, adalah hal yang wajar orang tua protes atau keberatan dengan ketidakadilan itu. Tapi, penting juga dipertimbangkan secara matang, mana kasus yang pantas melalui jalur pengadilan dan mana kasus yang cukup menerima dan menyelesaikan secara hati dan nalar orang dewasa.
Ibarat sebuah rumah, jika jendelanya yang rusak, tidak perlu merobohkan seluruh bangunan untuk memperbaikinya. Alih-alih membawa tindakan disipliner seorang guru pada siswanya ke ranah hukum, mengadu ke pihak sekolah semestinya berat, namun lebih beradab dan tepat. Sikap tidak terima atas ketidakadilan anaknya dibangku sekolah, hanya persoalan dipukul ala kadarnya tak harus melibatkan kejaksaan dan pengadilan. Ini bukan pencabulan, pemerasan dan pembunuhan.
Dalam kasus ini publik dibuat geram, khususnya para guru honorer yang memiliki napas perjuangan mendidik anak bangsa dengan tulus. Meskipun niat orang tua korban untuk mencari keadilan bagi anaknya, tindakannya dianggap lebay dan berlebihan. Terkesan bahwa pelapor yang berprofesi seorang polisi, secara amatan tradisional memiliki posisi dan relasi yang lebih kuat dari guru honorer yang selalu dipandang sebelah mata.
Masyarakat dibuat berang dengan kondisi relasi yang sangat mencolok, seroang polisi seharunya menjadi pelindung, justru mempidanakan sosok guru honorer. Lebih lagi, guru yang dilaporkan tidak bersalah melakukan kekerasan bagi anaknya. Kalaupun ibu supriyani sempat mengaku melakukan kekerasan, hal itu ia lakukan karena dipaksa oleh penyidik untuk mengku melakukan pemukulan dan meminta maaf pada orang tua korban.
Setelah ibu Supriyani dengan terpaksa mengaku dan meninta maaf pada orang tua korban meskipun ia tidak pernah melakukan itu, perkaranya tidak berhenti. Belakangan ada temuan untuk memberhentikan kasusnya, ia harus membayar uang sebesar 50 juta. Tentu persyaratan ini tidak bisa disanggupi oleh ibu Supriyani, sehingga kasusnya berlanjut ke pengadilan. Kata Andri Darmawan, Kuasa Hukum Supriyani kepada awak media.
Saat ini kasus pilu yang menimpa Ibu Supriyani bergulir di Pengadilan. Kebijaksanaan hakim adalah muara akhir apakah ibu supriyani, seroang guru yang sudah belasan tahun mengabdi dengan gaji 300 ribu perbulan mendapatkan keadilan? atau Sebaliknya, ia mendapatkan ‘hadiah’ hukuman dari aduan orang tua siswa dimana ibu Supriyani mengajar. Jika ia, sungguh pilu, nasib guru yang sudah lama mengabdi harus berjuang dibalik jeruji.
Pengabdiannya tak jauh sama dengan nara pidana, padahal ia adalah pendidik yang tulus mengabdi. Entah kemana muara keadilan akan berlabuh. Namun, yang jelas pengaduan persoalan kasus semacam ini sampai ke meja hijau pengadilan telah menciderai keadilan bagi dunia pendidikan itu sendiri.