Stoikisme Ramadhan (Part 4): Tawakal dan Realitas Yang Paradoks

Frensia.id – Manusia, sebagai mahluk yang memiliki rasio dan nafsu selalu memiliki keinginan yang tiada batas. Namun ia mahluk lemah yang memiliki kemampuan terbatas.

Tentu hal ini adalah sebuah realitas yang paradoks, tidak ada pilihan lain manusia harus bersandar pada Tuhan yang tidak memiliki keterbatasan dengan cara tawakal kepada-Nya.

KH. Muhammad Syamsul Arifin dalam kalam hikmah menuturkan tawakal berasal dari kata wakala yang artinya mewakilkan atau menyerahkan urusan kepada orang lain yang berhubung dirinya tidak bisa melakukannya.

Bacaan Lainnya

Abu Usman al Khairi menerangkan tawakal adalah merasa cukup dengan Allah dan hanya mengandalkan-Nya.

Mewujudkan tawakal bukan berarti meniadakan usaha dan ikhtiar. Allah swt memerintahkan hambanya berusaha sekaligus bertawakal. Disini menjadi jelas bertawakal bukan berarti meniggalkan usaha.

Konsep tawakal mengajarkan segala sesuatu Allah yang menentukan. Setelah berusaha lahir dan bathin, manusia harus menyerahkan sepenuhnya kepada-Nya dalam penentuan. Apapun palu keputusan tetap Dia (Allah) Tuhan maha kuasa atas segala sesuatu.

Apapun yang terjadi itu diluar kendali manusia dan manusia harus siap menerimanya dan bahagia dengan ketetapan-Nya. Sebab tidak semua di dunia ini ada dibawah kendali kita, sebaliknya ada sesuatu diluar kendali kita.

Epictetus, seorang filsuf stoa dalam kebijaksanaanya mengungkapkan “ada hal-hal dibawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita”.

Dalam bukunya letters from a stoic, Seneca berkata “manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki apapun yang dia mau, tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang dia belum miliki, dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima.”

Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan bisa didapat jika mampu bersikap menerima apa yang sudah menjadi bagian hidupnya karena manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki semua yang diinginkan.

Sikap seperti ini merupakan sikap pasrah dengan segala ketentuan Allah (tawakal), sehingga dengan sikap seperti ini manusia cenderung tidak menyalahkan Tuhan.

Menyalahkan ketetapan Tuhan baik itu persoalan rezeki, reputasi, kesehatan, pendidikan, karier dan sebagainya.

Tawakal bukanlah sebuah sikap yang mengandalkan pada kalkulasi pertimbangan rasio yang sifatnya untung-rugi, namun merupakan perbuatan yang didasari oleh pertimbangan hati nurani.

Ramadhan, memberikan wawasan dan kesadaran tentang tawakal. Puasa yang dijalani manusia mengajarkan apapun yang dimiliki manusia sesungguhnya tidak dalam kuasa manusia. Tapi dalam kuasa Dia (Allah) Tuhan yang maha kuasa.

Kesadaran itu bersimbol dalam ketaatan manusia dalam menahan makan, minum, hubungan suami istri yang dianggap dalam kepemilikannya.

Namun hakikatnya semuanya milik Allah, dengan puasa manusia disadarkan kepemilikan manusia sifatnya relatif, sedang yang absolut milik Allah.

Dengan demikian manusia disadarkan sumber kekuatan adalah Allah swt, segala keputusannya adalah keputusan yang terbaik bagi manusia.

Tugas manusia bergembira memaksimalkan apa yang dia terima, itulah yang disebut dengan Tawakal dalam Realitas Yang Paradoks.