Frensia.id – Allah memperkanalkan diri-Nya dengan nama Allah sebagaimana terekam dalam Q.S Thaha 20: 14 “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku dan laksanakan sholat untuk mengingat-Ku”.
Selain itu, Allah juga memperkenalkan diri-Nya dengan Asmaul Husna (nama-nama terindah). Prof. Quraish Shihab –mufasir Indonesia– menjelaskan hal itu dalam karyanya Islam Yang Saya Pahami, menurutnya seorang muslim dituntut untuk mempercayai makna nama-nama indah itu.
Sekalipun pengetahuan terhadap nama-nama itu sudah memaksimalkan akal kemampuan dan pengetahuan manusia, Allah jauh lebih sempurna dari pengetahuan manusia yang sudah maksimal itu. Artinya pujian maksimal manusia belum sesuai dengan keagungan-Nya. Masih sangat jauh.
Manusia mengemban tugas yang sangat mulya, ia dipercaya menjadi khalifah di muka bumi. Artinya eksistensi bumi amat sangat tergantung pada ‘kekuasaan’ manausia.
Disinilah Allah pada sisi yang lain menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Artinya visi-misi ia sebagai khalifah akan terlaksana dengan baik jika tugas kekhalifahannya dilandasi dengan ibadah kepada Allah.
Oleh karena itu sebagai khalifah tidak ada pilihan lain ia harus tunduk, pasrah, patuh dengan segala ketentuan/aturan Allah. Untuk menjalani misi khalifahnya dengan didasari ibadah kepada-Nya manusia tidak harus melebur/menyatu dengan Allah, cukup dengan melaksanakan tugas khalifahnya selaras kehendak Allah swt.
Selain itu dalam menjalankan tugas ‘wakil’ Allah di Bumi manusia harus mampu bisa berperilaku seperti perilakunya Allah sebagaimana yang tertuang dalam asmaul husna. Singkatnya membumikan sifat atau nama-nama Allah dalam realitas kehidupan manusia.
Anjuran berprilaku seperti perilakunya Allah terdapat dalam sebuah hadist sebagaimana yang tertuang dalam kitab al-mafatih di syarhil mashabih. Rasulullah saw bersabda (تخلقوابأخلاق الله) artinya “Berperilakulah kalian sebagaimana perilakunya Allah”.
Dalam pandangan Hasan bin Mahmud al-Mudhhiri pengarang kitab al-mafatih tersebut seharusnya di dalam diri manusia ada sifat-sifat Allah yang memungkinkan ada pada seseorang mahluk.
Jadilah manusia yang penyayang kepada semua hamba Allah seperti Allah sayang pada hambanya. Begitu seterusnya dengan sifat-sifat Allah lainnya.
Penting dicatat, yang harus ditiru dari sifat Allah adalah sifat yang memungkinkan, ini kuncinya atau layak ditiru manusia. Dalam asmaul husna tentu banyak nama-nama Allah yang mungkin ditiru untuk dibumikan dalan kesehariannya.
Misalnya berprilaku welas asih bagi sesama manusia dan mahluk lainnya seperti sifat atau nama Allah (ar-rahman ar-rahim). Mudah memaafkan dan mengampuni kesalahan orang hal ini sebagaimana Allah sebagai Tuhan pengampun (al-Ghaffar dan al-afuw).
Al-Muqtadir (maha berkuasa), sebagai khalifah harus senantiasa menyadari kesuksesan dan keterburukan hidup karena kuasa-Nya. Ketika sukses jangan sombong bisa jadi Allah berkehendak lain, yang sedang terpuruk tidak usah terlalu sedih, Allah maha berkuasa.
Al-Bashir (maha melihat), sebagai khalifah harus senantiasa dipantau terus oleh Allah sehingga tidak akan melakukan keburukan, ia akan disiplin bekerja, jujur karena CCTV-nya adalah Allah sendiri.
Jika sifat atau nama-nama Allah yang mengandung idealitas itu diterapkan pada bumi realitas sehari-hari, maka struktur kehidupan manusia akan harmoni. Manusia akan mengemban tugas Tuhan saat manusia diciptakan yakni senantiasa melakukan kebaikan.
Sebagaimana kebijaksanaan Marcus Aurelius — filsuf stoikisme — “Kodrat manusia adalah berbuat baik, dan karena itulah kau dilahirkan.” Sifat idealitas itu semua bisa digapai oleh manusia (muslim) di bulan puasa ramadhan.
Puasa Ramadhan mengajarkan sifat welas asih, pemaaf, pemberi kedamaian, sikap disiplin, jujur dan sebagainya.