Frensia.id – Badan Legislasi (Baleg) DPR secara tiba-tiba ingin merevisi Undang-undang Pilkada dan menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sebuah peristiwa yang sangat memilukan ditengah bangsa Indonesia masih merayakan kemerdekaan. Demikian pula tragedi ini menggambarkan dinamika yang kompleks dalam demokrasi dan hukum Indonesia.
Demokrasi dan hukum tidak lagi diorientasikan pada kepentingan umum, melainkan hanya untuk segelintir elit. Jelas situasi ini sedang menunjukkan kondisi darurat, hukum diubah semaunya pemangku kekuasaan tidak untuk kepetingan masyarakat luas. Mengabaikan proses dan mekanisme yang seharusnya dilakukan seperti partisipasi publik yang maksimal, transparan dan legitimasi demokratis.
Sebagaimana amanah UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, ada mekanisme yang kelas bagaimana UU dibuat, direvisi atua dibatalkan. Revisi UU Pilkada yang dilakukan dengan mendadak dan tergesa-gesa tanpa ada proses yang sesuai aturan perundang-undangan, menunjukan lemahnya penerapan prinsip rule of law. Hukum hanya digunakan sebagai alat politik untuk menguntungkan pihak tertentu.
Fenomena ini sebenarnya bukanlah hal baru, Larry Diamond dalam Developing Democracy : Toward Consolidation menggambarkan bagaimana banyak negara berkembang termasuk Indonesia, mengalami krisis demokrasi karena adanya cawe-cawe elit politik yang kuat dalam proses pembuatan kebijakan. Oligarki cenderung mengontrol lembaga-lembaga penting negara, termasuk proses legislasi.
Senada dengan itu Mahfud MD dalam Supremasi Hukum dan Demokrasi di Indonesia mengatakan salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia pasca reformasi adalah ketidakseimbangan antara hukum dan kekuasaan. Pihak yang berkuasa seringkali mencoba mempengaruhi proses hukum demi kepetingan politik mereka. Ia menekankan dalam negara demokrasi, supremasi hukum harus di pegang teguh oleh semua pihak, baik pemerintah maupun legislatif, untuk misi menjaga stabilitas dan keadilan.
Upaya Baleg DPR untuk merevisi UU Pilkada pasca putusan MK, tiada ada lain kecuali kekuasaan politik sedang didayagunakan mengubah hukum untuk kepentingan mereka saja. Indonesia yang semula negara hukum, berubah menjadi negara kekuasaan.
Salah satu prinsip fundamental dari negara hukum seperti Indonesia adalah supremasi hukum. Semua warga negara, termasuk para pejabat pemerintah, harus tunduk pada hukum yang belaku. Hukum berada diatas segalanya, bukan nafsu kekuasaan. Dalam konteks hari ini, putusan MK seperti diatur dalam UUD 45 pasal 24C ayat 1 bersifat final dan mengikat. Pemerintah, parlemen, KPU dan semua pihak harus mematuhi keputusan tersebut.
Upaya mengubah UU Pilkada yang bertentangan dengan putusan MK dipandang sebagai bentuk pengabaian terhadap supremasi hukum, keputusan hukum yang seharusnya dihormati justru dilawan. Putusan MK yang seharusnya menjadi akhir dari sengketa konstitusional terancam dikebiri kekuatannya jika tidak dihormati. Ihwal ini menciptakan preseden buruk, bahwa hukum dapat diubah sesuai selera kepentingan pihak tertentu.
Upaya DPR untuk merevisi UU Pilkada pasca putusan MK sempat menimbulkan pertanyaan publik, apakah prinsip check and balances sedang dilemahkan. Bukankah sikap DPR mengubah UU yang diputuskan MK tanpa penghormatan terhadap putusan tersebut dapat mengurangi fungsi pengawasan yudikatif atas lembaga legislatif dan ekskutif? Publik was-was dan berhak curiga, karena peristiwa ini berpotensi menciptakan kekuasaan legislatif yang tak terkendali.
Tindakan DPR yang grusa-grusu mengubah UU pasca diputuskan konstitusional oleh MK, menimbulkan potensi pelanggaran prinsip pemisahan kekuasaan. Legislatif dianggap melampaui wewenangnya dengan tidak menghormati putusan lembaga yudisial, sebagai penjaga konstitusionalitas kebijakan negara.
Ketidakpuasan publik atas keputusan DPR yang dinilai menguntungkan segelintir elit politik menunjukkan adanya krisis kepercayaan (trust) atas tenggelamnya demokrasi. Demontrasi dan penyampaian aspirasi adalah langkah yang ditempuh rakyat sipil meski tidak sedikit menelan korban, semata-mata untuk memutus perselingkuhan pemerintah dan parlemen. Mengakhiri persekongkolan yang jika didiamkan dapat menggerogoti keputusan-keputusan yang tidak mengedepankan kepentingan umum.
Upaya itu semua dilakukan agar praktek memanipulasi undang-undang untuk kepentingan politik tertentu dapat berakhir. Alhasil, Kabar terakhir DPR resmi setujui draf revisi PKPU Pilkada dengan memuat putusan MK. Supremasi hukum di persimpangan mulai menemukan titik terang, syukur tidak terulang kembali. Pada gilirannya, hukum dapat berlaku adil bagi semua pihak, bukan hanya bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Semoga*
*Moh. Wasik (Anggota LKBHI UIN KHAS Jember dan Penggiat Filsafat Hukum)