Frensia.id – Pasca puasa ramadhan umat Islam mengumandankan takbir pada saat hari raya idul fitri. Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamdu, Itulah kalimat yang dikumandangkan umat Islam.
Coba kita renungkan sebentar, kalimat yang dikumandangkan pasca berpuasa sebulan ramadhan adalah kalimat mengagungkan Allah. Setelah satu bulan bulan berpuasa, menahan lapar-haus, menahan nafsu seksual suami sitri disiang hari, malam qiyamul lail.
Melatih tetap sabar menjalankan perintah puasa walaupun bekerja mungkin sebagin bekerja dibawah terik matahari, capek, lesu dan sebagainya, dijalani hingga Maghrib dan sampai ramadhan selesai.
Lalu apakah yang diucapkan setelah selesai ramadhan karena berhasil melakukan puasa meskipun situasi sulit dengan mengagungkan diri sendiri sebagai apresiasi atas keberhasilan itu.
Misal yang diucapkan “alhamdulillah, saya hebat puasa full meski kerja keras” atau “Saya ini muslim taat karena berhasil berpuasa full”.
Tidak. Justru setelah umat islam berhasil melewati ramadhan yang diucapkan adalah kalimat takbir. Meskipun umat Islam kuat dan mampu menyelesaikan ramadhan dengan sempurna — dalam pandangan manusia– tetap pengakuan diri sendiri hebat harus dihilangkan.
Sikap ke-aku-an harus dinegasikan dan yang pantas — dan memang seharusnya–membesarkan Allah swt. Dibilang sesukses apapun umat Islam mampu menjalankan ramadhan tetaplah menegasikan atau menghilangkan sifat ke-aku-an atau kesombongan.
Artinya setelah ramadhan sifat ke-aku-an atau kesombongan harus benar-benar dileburkan bersamaan dengan mengumandangkan atau mengucapkan takbir. Sifat ke-aku-an atau kesombongan itu harus dinegasikan, apapun itu.
Ke-aku-an dalam bernalar, ke-aku-an dalam memimpin, ke-aku-an dalam bermasyarakat, ke-aku-an dalam beribadah, dan ke-aku-an- ke-aku-an yang lainnya. Sebab hahekatnya tidak ada kemampuan dalam diri manusia, kemampuan itu adalah anugerah dari Allah swt.
Betatapun manusia berusaha semaksimal mungkin untuk bisa bersabar dalam menjalankan puasa ramadhan. Jika tidak karena anugerah kekuatan Allah manusia tidak akan mungkin menjalani ramadhan dengan sempurna.
Sebagaimana Allah tegaskan yang terekam dalam firmannya :
:وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“supaya kalian menyempurnakan bilangan (shaum Ramadlan) dan supaya kalian mengagungkan Allah atas hidayah yang Dia berikan kepada kalian, serta supaya kalian bersyukur.” [QS. Al Baqarah (2) : 185].
Takbir yang dikumandangkan saat idul fitri sesaat berakhirnya ramadhan harus menjadi dorongan untuk menghilangkan ke-aku-an dalam diri sendiri.
Jangan sampai lisan bertakbir dengan kalkulasi hitungan yang banyak. Sementara perilaku kita masih membesarkan ego kita sendiri.
Seharusnya jika takbir dikumandangkan pada malam idul fitri dan seharian dalam sholat lima waktu minimalnya benar dihayati dan menjadi laku kehidupan.
Harus benar-benar disadari dengan penuh kesadaran alangkah kecilnya kuasa, atribusi jabatan, nalar, harta, kedudukan manusia, pengaruh yang dimiliki manusia dibandingkan dengan kuasa dan keagungan Allah.
Lalu masih pantaskan ke-aku-an masih dipakai manusia? tentu tidak. Itulah takbir yang sebenarnya yang mampu menegasikan sifat ke-aku-an. (*)
*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah, Akademisi UIN KHAS Jember)