Frensia.id- Tanasaghara, satu-satunya pemusik hingga saat ini konsen pada advokasi masyarakat yang dirampas tanahnya dan diskriminasi haknya. Lahir di Kulon Progo dan hingga detik masih getol menemani dan memperjuangan kehidupan petani Pakel, Banyuwangi.
Salah liriknya yang sering didengar dan dilantun para akitivis tanah adalah sebagai berikut,
“Percik api menyala-nyala, Suara mantra-mantra. Bergumam di kepala, Beranilah jiwanya. Mengudaralah genggaman, Di ruang kehidupan. Atas nama cinta yang hilang, Panjang umur perjuangan”.
Bait tersebut berasal salah satu lagu yang berjudul “Nyanyian Gagak”. Sebenarnya, tidak hanya lagu tersebut, namun seluruh lagu disusunnya sebagai kritik pada kesewenangan kekuasaan pada rakyat.
Penyanyai bernama asli Roby. Ia merupakan aktivis Yogyakarta dan kelahiran Sampang Madura.
Dilansir dari Nggalek.co, Roby menjelaskan bahwa nama panggungnya itu digagas di Temon, Kulon Progo saat memperjuangankan tanah masyarakat dirampas paksa. Waktu masih tahun 2018.
Kala itu, sekitar 37 rumah warga digusur. Dirampas tanahnya dan hak hidupnya. Pada situasi yang mencekam demikian, nama Tanasaghara digagas. Maknanya, tentu berkaitan dengan advokasi yang dilakukan tersebut.
Tana memiliki makna bumi tempat berpijak. Sedangkan saghara adalah laut. Dengan makna itu, ia memantapkan diri untuk membela hak ruang hidup masyarakat sipil.
Saat ditanyak tentang lagu yang diciptakan di Kolon Progo, Roby menjawab banyak. Ia menyebutkan beberapa judul lagu yang khusus dibuat untuk rakyat yang telah dirugikan kekuasaan.
“Kalau yang diciptakan untuk Kulon Progo sendiri, ada “Barat Sungai”, “Pesan”, “Darah”, “Hikayat Budi”, “Kosakata Lebam”, “Anarki Kasih Ibu”, “Gadis Penjaga Desa”, dan lain-lain. Kalau yang diciptakan di Kulon Progo, hampir keseluruhan”, katanya 21/04/2021 silam.
Saat ini, Tanasghara masih terus melakukan mendampingi masyarakat dari pengusuruan yang sewenang-wengan. Yang terbaru, kemarin ia melakukan tour dengan biaya mandiri di berbagai kota untuk mengkampanyekan perlawanan dan penolakan diskriminasi Petani Desa Pakel.
Bahkan ia menyebut telah mencipatkan dua lagu untuk petani desa Pakel yang dianggapnya telah didiskriminasi oleh PT Bumi Sari. Lagu “Maruna” yang diciptakan oleh Roby untuk memberikan gambaran yang kuat tentang perjuangan warga Pakel.
Lagu ini mencerminkan semangat warga dalam menjaga dan bertahan dari kekuatan yang mencoba merampas tanah mereka. Dengan lirik yang kuat dan penuh makna, “Maruna” menggambarkan perlawanan terhadap kerakusan pihak-pihak yang berusaha mengambil hak mereka secara tidak adil.
Begitupun lagu “teras”, bait-baitnya menggambarkan trauma mendalam yang dialami warga Pakel akibat tragedi represif pada tahun 1999. Kala itu, menurutnya negara telah menggunakan kekuatan untuk menindas para petani.
Lagu ini menangkap esensi dari luka yang dihasilkan oleh kekerasan, ketakutan, dan penindasan yang dialami oleh warga saat mempertahankan tanah mereka. Dampak psikologis dan sosial dari tragedi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kisah perjuangan mereka.