Frensia.id – Aturan Tabungan Perumahan Rakyat yang dikeluarkan pemerintah melalui PP No 21 Tahun 2024, menuai penolakan tidak hanya hanya datang dari rakyat, pekerja namun dari pengusaha.
Hal ini menunjukkan PP Tapera ini tidak ada kepentingannya dengan pekerja, keberadaan peraturan ini blas tidak memberikan kemanfaatan bagi mereka.
Namun demikian, pemerintah tidak menghiraukan dan tidak menganggap serius penolakan tersebut. Sebaliknya, Presiden Jokowi menganggap hal itu yang wajar.
Bukan merespon dengan baik berbagai penolakan untuk untuk segera dievaluasi, malah menilai hal yang lumrah.
Tujuannya sih baik, agar pekerja bisa punya hunian atau rumah. Tapi aturan ini justru menabrak tujuan baik itu sendiri. Aturan ini sifatnya wajib dan terdapat sanksi bagi para pekerja jika tidak memenuhi kewajiban ini.
Kewajiban dan sanksi inilah yang memberatkan bagi pekerja.
Selain memberatkan pekerja, aturan ini sama sekali tidak logis dan rasional. Para bekerja dengan adanya pemangkasan gaji akan membuat mereka semakin ketar-ketir ditengah ongkos kebutuhan hidup semakin meroket.
Sebab Tapera bukan satu-satunya pemotongan gaji bagi pekerja, pada sisi lain upah pekerja sangat rendah imbas dengan adanya UU Cipta kerja. Jika masih dipaksa dan wajib membayar Tapera ini jelas menambah beban biaya hidup sehari-hari.
Belum lagi tanggungan hutang para pekerja baik pada koperasi, bank atau cicilan lainnya, apa tidak menambah beban hidup mereka. Bukankah pemerintah menggaungkan Tapera ini sifatnya tabungan, seharusnya tidak harus diwajibkan namun bersifat sukarela.
Tidak hanya itu, Tapera ini dalam banyak penilaian dan pengamatan sangat mustahil untuk bisa mewujudkan rumah. Dengan potongan Rp. 105.000,- misalnya, jika dikomparasikan dengan harga rumah 250 Juta, pekerja membutuhkan 166 tahun.
Sangat Mustahil sekali, apalagi harga rumah terus naik.
Dalam PP tapera ini tidak ada klausul yang menyebutkan subsidi pemerintah. Lagi-lagi pemerintah ambil enak saja, pinter ngatur tapi tidak ikut bantu. Malah orang yang punya rumah harus ikut Tapera.
Bagaimana jika rumah itu pemberian orang tua dan kebetulan pekerja lepas yang gajinya cukup untuk kebutuhan hidup? haruskan masih ikut Tapera dengan dalih subsidi silang saling membantu?
Pertanyaannya pemerintah bantu tidak, kenapa tidak uang pensiunan DPR dan menteri dialihkan ke Tapera ini jika memang ingin rakyatnya punya hunian?
Jika Pemerintah tidak bisa membuat aturan yang membuat rakyat sejahtera, setidaknya jangan buat aturan yang memberatkan rakyat, khususnya yang tidak punya penghasilan besar.
Sesimpel itu sebenarnya, namun pemerintah punya segudang alasan yang menurut mereka sendiri benar, tanpa berpikir matang dan dengan hati, bagaimana imbasnya.
Jika pemerintah membuat aturan ini untuk pekerja, seharusnya tidak bertentangan dengan pekerja. Itulah yang disebut “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”, sebuah ungkapan terkenal dari Prof. Satjipto Rahardjo, Pakar Hukum Progresif, Indonesia.
Klausa/ketentuan yang kontradiksi dengan pekerja dihapus maupun diganti. Oleh Karena itu, pemerintah harus mengevaluasi dengan serius, baik merevisi atau/dan mencabut Peraturan Pemerintah tentang Tapera ini. (*)
* Moh. Wasik (Anggota LKBHI UIN KHAS Jember, Penggiat Filsafat Hukum)