Frensia.id – Idealnya, setiap peraturan yang dibuat negara harus bermuara kepada Kemanfaatan bagi masyarakat secara keseluruhan. Jika tidak, setidaknya bermanfaat bagi sebanyak orang.
Dalam jargon utilitarianisme, satu diantara mazhab dalam filsafat hukum dikenal the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar).
Bagi J. Bentham pencetus mazhab ini, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Intinya, meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan hukum.
Kaitanya dengan isu yang sendang viral hari-hari ini, peraturan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), semestinya peraturan ini harus memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan bagi seluruh elemen masyarakat.
Nampaknya peraturan Tapera ini kebalikannya, tabungan periodik untuk pembiayaan perumahan yang hanya bisa digunakan atau dikembalikan setelah keanggotaan berakhir ini justru bagi kalangan masyarakat khususnya kaum buruh tidak memberikan kemanfaatan.
Alih-alih memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan, kebijakan yang tujuannya menghimpun dana murah jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau ini justru memberikan beban baru bagi para pekerja.
Kebijakan Tapera ini berdasarkan PP 21 tahun 2024 perubahan atas PP 25 Tahun 2020 tentang Tapera, dalam aturan PP yang baru ini peserta Tapera harus menyisihkan 3% dari gaji atau upah mereka.
Untuk pekerja, siap-siap dipotong 0,5% bagi pemberi kerja dan 2,5 % bagi pekerja, sementara Freelancer dan bekerja lepas harus menyisihkan sebanyak 3 % sendiri.
Pasal 7 merinci pekerja yang wajib ikut tapera; PNS, ASN, TNI-Polri, BUMN, pekerja swasta dan pekerja lainnya yang menerima gaji atau upah.
Kebijakan Tapera, yang mewajibkan potongan 3% bagi kalangan sebagian orang — khususnya yang pro kebanyakan kalangan orang-orang kaya dan mempunyai jabatan penting di negara dan hartanya menumpuk– tidak ada masalah.
Tapi bagia bekerja pekerja swasta, bekerja lepas, pekerja informal, buruh dan masyarakat yang tidak punya penghasilan besar pastinya sangat berat. Katakanlah potongan 105.000 bagi pekerja yang penghasilannya 3.500.000 bukanlah hal kecil.
Ditambah potongan untuk BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, pajak penghasilan, Tapera hadir dengan beban baru ditengah kondisi ekonomi yang kian rumit.
Tidak heran, jika peraturan tapera ini menuai penolakan dari arus bawah, buruh dan masyarakat, ditengah kondisi ekonomi tidak menentu mereka secara tidak langsung harus mensubsidi orang statusnya sama-sama miskin, aneh.
Tujuan baik namun tidak diiringi dengan cara yan baik adalah sesuatu yang utopia menghasilkan kebaikan pula, catatan yang pantas untuk kebijakan ini.
Apalagi, pengelolaan Tapera tidak dibangun atas integritas dan akuntabilitas, sangat mungkin Tapera kedepan menjadi lumbung korupsi, bukan? (*)
* Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Hukum, Anggota Dar al-Falasifah)