Frensia.id – Negeri ini kembali dihadapkan pada kenyataan pahit, tanah air yang kataya mengaku sebagai demokrasi terbesar di Asia Tenggara, namun nyatanya jeruji besi masih saja lebih kokoh dari suara rakyat. Padahal, suara rakyat jelas merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi.
Salah satu contoh nyata kuatnya jeruji besi yang merintangi demokrasi adalah kisa Tina Rambe, seorang ibu yang tak bersenjata selain keberanian melawan ketimpangan sosial. Ia harus mendekam dibalik sel demokrasi, ditahan karena melawan petugas keamanan saat menolak pengoperasian pabrik kelapa sawit di kab. Lubuhanbatu, Sumatera Utara.
Dikabarkan sebelumnya bahwa Tina Rambe ditangkap bersama 3 mahasiswa dan dua warga lainnya saat melakukan aksi protes pada 20 Mei 2024. Demonstrasi tersebut diikuti. ole ratusan warga kelurahan Pulopadang, Kec. Rantau Utara.
Warga menolak karena lokasi pabrik kelapa sawit tersebut dekat dengan pemukiman dan sekolah, dikhawatirkan akan menyebabkan pencemaran lingkungan dan kebisingan.
Bayangkan pemandangan ini, bukan ibu yang sedang mengandeng anaknya maju di pilkada. Namun seorang ibu, tangan diborgol, di balik sel tahanan merengkuh anaknya, memeluk buah hatinya yang terhalang dinding besi pemisah. Tina Rambe bukan koruptor uang rakyat, bukan teroris, juga bukan pelaku kejahatan besar.
Ia ‘kartini’ yang ‘hidup’ masa kini, perempuan pemberani menyuarakan apa yang semestinya disuarakan. Menyampaikan kebenaran dan keadilan serta menolak tunduk dibawah ancaman terhadap kehidupan orang banyak.
Ironisnya, di Indonesia, negara yang mendeklarasikan diri sebagai tanah demokrasi, suara keadilan rakyat kecil sering kali tenggelam. Jika pun terdengar, suara-suara keadilan seperti milik Tina Rambe — dan perempuan lainnya yang serupa– justru dibalas dengan borgol dan menatap pilu dibalik jeruji besi.
Hanya untuk menyuarakan aspirasi dinilai sebagai ancaman yang terlalu ‘mengganggu’. Saat ini ia harus berjuang bukan hanya keadilan orang banyak, tetapi juga untuk dapat memeluk hangat buah hatinya.
Hal ini menjadi sorotan oleh banyak pihak, termasuk putri Presiden ke 4 Abdurrahman Wahid, Yeni Wahid yang melalui unggahannya di Instagramnya @yenniwahid, 23 September 2024, menyampaikan empatinya. Ia Menulis
“Ibu Tina Hanya seorang perempuan lemah yang ingin menyuarakan aspirasinya di negara demokrasi bernama Indonesia. Ia berhak untuk memeluk anaknya dan berhak mendapatkan empati serta dukungan kita semua. Pak Menkominfo, daripada sibuk ngurusin satu ibu hamil yang sudah punya banyak privilese, tolong dong tengok dan perjuangkan ibu-ibu lain seperti Ibu Tina yang masih berjuang untuk bisa memeluk anaknya”
Yeni wahid menyoroti ketidakadilan yang dialami oleh Tina Rambe dan perempuan-perempuan lain, suara mereka seolah-olah tenggelam dan hilang di balik politik dan kekuasaan. Di tengah hingar-bingar perbincangan tentang keadilan, sorot dan perhatian cenderung diberikan kepada mereka yang sudah memiliki akses dan privilese.
Di negeri ini, demokrasi memang senantiasa terdengar di panggung besar, jadi tema seminar hingga konferensi internasional. Senantiasa menjadi kata-kata bijak dalam sambutan para pejabat, tetapi sayangnya di belakang layar, banyak suara di bungkam, seperti Tina Rambe.
Perempuan-perempuan seperti Tina adalah penjaga sejati dari nilai-nilai demokrasi, meski kehadirannya tak dianggap penting. Bahkan, mengganggu bagi mereka yang duduk di kursi kekuasaan.
Realitas pahit ini, bukan hanya soal Tina Rambe sebagai individu dan perjuangannya mendapat keadilan, tetapi simbol perlawanan perempuan atas sistem yang menindas. Di balik setiap suara lantang tentang keadilan dan demokrasi yang sering terdengar, perlu di ingat bahwa Tina Rambe dan perempuan-perempuan lain masih menunggu hak mereka diakui.
Bukan sekadar hak untuk berbicara, lebih dari itu, hak utuk memeluk anak mereka, sesuatu yang semestinya tidak pernah dipermasalahkan.