Toko Madura Terapkan Akad Bagi Hasil Sesuai Syara’, Namun Melanggar Melanggar

Gambar Toko Madura Sesuai Syara' (Sumber: Jeda Nulis)

Frensia.id– Toko Madura akhir-akhir ini viral setelah diduga melanggar aturan oleh Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM). Lantas apa sebenarnya pelangggarannya? Sesuaikah dengan syara’ atau aturan hukum positif?

Ada riset yang berupaya menjelaskan hal tersebut. Judulnya, Tinjauan Praktik Sistem Bagi Hasil Pada Akad Mudarabah Dalam Pengelola Toko Kelontong Madura Di Daerah Sleman Yogyakarta.

Penulisnya bernama Fathol Bari. Ia seorag akademisi dari Yogyakarta. Karya tersebut, telah dipublis dalam repository UIN Sunan Kalijaga tahun ini, 2024.

Bacaan Lainnya

Ia menjelaskan bahwa toko kelontong milik warga Madura di Sleman, Yogyakarta, menonjol dengan sistem bagi hasilnya dan jam operasional yang tak lazim.

Menurutnya, mereka mempraktekkan skema bagi hasil yang berdasarkan kesepakatan lisan. Sedangkan persentase pembag8annya, disesuaikan dengan pendapatan bersih bulanan.

Tak hanya itu, toko ini buka 24 jam sehari, membuat pengelolanya harus siap bekerja bergantian selama 12 jam.

Dua hal ini tersebut yang membuatnya terdorong untuk meneliti hal tersebut. Ia fokus megoreksi tehnik akad kerja karyawanannya dengan sang pemilik saham.

Hasil temuan risetnya menunjukkan bahwa kesepakatan bagi hasil antara pengelola dan pemilik modal bersifat lisan. Jadi sistem akadnya tidak tercatat, namun telah dianggap sah dipanfang dalam qoulnya.

Jadi Fathol Bari menegaskan telah sah dan sesuai dengan syara’. Bentuk akad yang terjadi dapat disebur sebagai Mudhorobah Muqoyyad.

Akad mudharabah muqayyadah sendiri adalah sistem bagi hasil dimana pemilik modal berhak menentukan jenis usaha atau masih cawe-cawe dengan usaha yang dilakulan.

Jadi bukan Mudharobah Mutlaqoh. Sebab, proses kerja samanya, tidak dipercayakan penuh penerima tanggung jawab modal.

Yang unik, model kerja 24 jam menjadi ciri khas toko ini. Pemilik biasanya mempekerjakan dua karyawan untuk bergantian sift.

Namun, jadwal kerja fleksibel. Artinya, tidak terikat pada waktu tertentu. Data yang ditemujan ileh Fathol Bari, disebut didasadkan pada tingkat kelelahan karyawannya.

Hal demikian yang kemudian dapat dianggap bermasalah.

Meskipun sistemnya dianggap telah sesuai dengan prinsip akad mudharabah muqayyadah dalam fiqh, namun masih penting untuk memperhatikan kembali baik tidaknya jam kerja yang ditentukan.

Temuan risetnya memberikan saran penting. Ia menulis bahwa jam kerja yang berlebihan dapat menimbulkan masalah serius.

Aturan tentang jam kerja telah diatur dalam aturan Cipta kerja. Tepatnya, pada Pasal 81 angka 23 Perppu yang mengubah pasal 77 UU Ketenagakerjaan. Bunyinya begini,

  • 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau
  • 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.

Jadi, mengingat adanya batasan jam kerja ini, diperlukan tinjauan lebih lanjut terhadap implementasi sistem kerja toko Madura. Utamanya, untuk memastikan kesesuaian dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.