Frensia.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) belakangan ini menjadi perbincangan hangat di media sosial dan berbagai platform publik. Sejak Jumat 14 Maret 2025, panitia kerja pemerintah dan Komisi I DPR menggelar rapat membahas daftar inventarisasi masalah atau DIM revisi UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Rapat ini menuai kritik karena terkesan diam-diam, tertutup, dan dilangsungkan di hotel mewah di Jakarta.
Padahal, pemerintah tengah menjalankan efisiensi anggaran. Proses yang tidak transparan ini menimbulkan kecurigaan publik bahwa ada agenda tersembunyi di balik revisi UU TNI. RUU ini kemudian menuai pro dan kontra, terutama terkait dengan peran militer dalam kehidupan sipil. Banyak yang khawatir bahwa RUU ini bisa membuka pintu bagi kembalinya militerisme di Indonesia. Jauh sebelum RUU TNI yang ramai dibicarakan ini, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir sudah menolak keras praktik militerisme di Indonesia.
Munir, yang dikenal sebagai pejuang HAM, telah lama menyoroti bahaya militerisme bagi demokrasi. Dalam artikel berjudul “Membangun Bangsa dan Menolak Militerisme” yang terbit tahun 2000, Munir menjelaskan bahwa militerisme bukan sekadar tentang kehadiran tentara dalam politik, tetapi lebih pada nilai-nilai yang dibawa oleh sistem militer. Nilai-nilai itu, menurut Munir, bersifat monolitik, terpusat, dan mengagungkan kekerasan. Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan kebebasan, keberagaman, dan dialog.
Menurutnya, militerisme telah merasuk ke dalam sistem politik Indonesia selama Orde Baru. Saat itu, militer tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan, tetapi juga sebagai alat kontrol politik. Negara menggunakan militer untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang represif. Munir menyebut bahwa Orde Baru menciptakan sistem yang monolitik, di mana semua perbedaan dianggap sebagai ancaman. Pancasila, yang seharusnya menjadi dasar negara yang inklusif, justru dijadikan alat untuk menekan perbedaan dan membungkam kritik.
Salah satu contoh yang diangkat Munir yakni penggunaan Lembaga Penelitian Khusus (Litsus) dan Penataran Pancasila sebagai alat untuk mengontrol ideologi masyarakat. Litsus digunakan untuk memfilter siapa saja yang dianggap ancaman bagi negara, sementara Penataran Pancasila menjadi sarana indoktrinasi. Munir mengkritik keras praktik ini karena merampas kebebasan berpikir dan berekspresi warga negara.
Ia juga menyinggung tentang konsep “Manungaling Kawula lan Gusti” yang populer di era Orde Baru. Konsep ini menggambarkan hubungan antara penguasa dan rakyat sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan. Rakyat diharapkan tunduk pada kehendak penguasa tanpa reserve. Munir melihat ini sebagai bentuk legitimasi terhadap kekuasaan absolut, di mana negara memiliki hak mutlak untuk mengontrol kehidupan masyarakat.
Menurut Munir, bahaya terbesar dari militerisme bukan hanya pada sistem politik, tetapi pada internalisasi nilai-nilai militeristik dalam kehidupan masyarakat. Selama 32 tahun Orde Baru, masyarakat Indonesia dibentuk menjadi homogen, di mana perbedaan dianggap sebagai ancaman. Ini menciptakan budaya yang tidak toleran terhadap keberagaman, baik dalam hal agama, ras, maupun etnis. Munir mencatat bahwa konflik-konflik horizontal, seperti di Maluku dan Sambas, sebagai cermin dari kegagalan masyarakat menerima perbedaan.
Lantas, apa relevansi pemikiran Munir dengan RUU TNI yang sedang ramai diperbincangkan saat ini? Munir mengingatkan kita bahwa mengurangi peran militer dalam politik tidak cukup jika tidak disertai dengan penolakan terhadap nilai-nilai militerisme. Artinya, demokratisasi tidak hanya tentang memangkas kekuasaan militer, tetapi juga tentang membangun kesadaran kolektif untuk menolak segala bentuk dominasi dan kekerasan.
Aktifis HAM ini memiliki gagasan, bahwa membangun bangsa yang demokratis membutuhkan nilai-nilai baru yang mengedepankan persatuan dalam keberagaman. Mengevaluasi sistem politik yang monolitik dan membangun kesadaran rakyat untuk menerima perbedaan sebagai kekayaan bangsa, adalah tugas yang harus segera diwujudkan.
Menolak militerisme bukan sekadar tentang mengubah undang-undang atau memperbaiki sistem politik saja. Tetapi juga tentang mengubah cara berpikir dan bertindak (manhajul fikr wal harakah) masyarakatnya. Sepatutnya, demokrasi harus dijaga dengan cara menolak segala bentuk dominasi dan kekerasan, serta merangkul perbedaan sebagai bagian dari identitas sebagai bangsa Indonesia.
Penulis : Muhammad Riyadi