Frensia. Id – Beberapa waktu terakhir, linimasa media sosial diramaikan oleh video prosesi wisuda siswa SMA dan SMK. Ada yang digelar semegah wisuda sarjana—dengan panggung megah, toga lengkap, kalung gordon, bahkan istilah “sidang senat terbuka”. Di sisi lain, ada pula yang memilih kesederhanaan: hanya seragam putih abu-abu dan medali sederhana dari sekolah.
Kedua potret ini memancing perdebatan publik: apakah wisuda di jenjang pendidikan menengah memang perlu? Atau justru telah berubah fungsi menjadi ajang simbolik belaka—jauh dari esensi pendidikan?
Wisuda sekolah kini telah menjelma sebagai simbol status sosial. Semakin megah acaranya, semakin tinggi pula gengsi yang diraih. Orang tua berlomba-lomba menyediakan anggaran khusus, bahkan kadang lebih besar dari biaya masuk sekolah. Fotografer profesional, gedung mewah, dekorasi layaknya acara kampus—semuanya hadir demi momen yang, katanya, tak terlupakan.
Fenomena ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia tumbuh di tengah budaya visual yang menomorsatukan tampilan dan persepsi publik. Media sosial mendorong ekspresi publik atas capaian pribadi. Akhirnya, prosesi kelulusan bukan lagi tentang refleksi perjalanan akademik, melainkan tentang “bagaimana terlihat sukses”.
Pengamat perkembangan anak, remaja, dan pendidikan dari UGM, T. Novi Poespita Candra, M.Si., Ph.D., Psikolog, mengungkapkan bahwa dahulu kelulusan dari TK hingga SMA dikenal dengan istilah “pelepasan” atau “perpisahan” yang dilangsungkan sederhana. Kini, istilah “wisuda” digunakan secara merata di semua jenjang pendidikan, lengkap dengan toga, panggung megah, dan gaya seremoni khas perguruan tinggi.
Psikolog perkembangan dari Universitas Gadjah Mada ini mencatat bahwa perubahan istilah ini tak hanya soal bahasa, tetapi mencerminkan pergeseran nilai. Baginya, ketika wisuda di jenjang nonperguruan tinggi mulai digelar secara berlebihan—bahkan membebani aspek material—maka ada yang perlu dikritisi dari praktik ini. Di luar negeri, wisuda lazim dilakukan sederhana. Kita justru sibuk membungkus momen kelulusan dengan kemewahan simbolik.
Kekhawatiran ini juga diamini oleh Prof. Dr. Fauzi, Guru Besar UIN Saifuddin Zuhri Purwokerto. Menurutnya, bukan berarti perayaan kelulusan itu buruk, tapi perlu dikaji ulang urgensinya. Bukankah lebih penting membekali siswa dengan kesiapan mental menghadapi fase berikutnya—kuliah, kerja, atau bahkan realitas hidup? Seremoni seharusnya tidak menutupi substansi.
Kedua pendapat ini menggarisbawahi bahwa substansi pendidikan sering kali terpinggirkan oleh kemasan simbolik. Ketika wisuda hanya menjadi perayaan eksistensi, bukan refleksi, maka pendidikan sedang bergerak menjauh dari tujuan hakikinya.
Namun demikian, tak bisa dimungkiri bahwa wisuda juga bisa menjadi ruang afirmasi, khususnya bagi keluarga dari kalangan menengah ke bawah. Toga dan panggung menjadi simbol keberhasilan menembus keterbatasan. Dalam konteks ini, wisuda bukan sekadar selebrasi, tetapi pengakuan sosial atas perjuangan.
Tetapi kita patut waspada. Ketika kemewahan menjadi standar, maka selebrasi pun menjelma beban. Tak sedikit orang tua yang terpaksa meminjam uang demi membiayai seremoni. Lebih memprihatinkan, jika sekolah justru mewajibkan atribut tertentu tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi siswa.
Sebaliknya, kita patut mengapresiasi sekolah-sekolah yang memilih jalur sederhana namun bermakna. Di tengah arus glamorisasi seremoni, ada institusi pendidikan yang justru tampil membumi—menggelar acara kelulusan dengan seragam sekolah, tanpa toga, tanpa jas formal. Yang viral dari mereka bukan panggung megah atau dekorasi mahal, melainkan ketulusan ekspresi dan semangat kebersamaan. Justru dari kesederhanaan itu, pendidikan tampil lebih jujur pada dirinya sendiri.
Perlukah wisuda di tingkat SMA/SMK dan jenjang dibawahnya? Jawabannya bukan ya atau tidak, melainkan untuk apa. Jika wisuda mampu membangun semangat pascastudi, mempererat hubungan emosional siswa-guru, dan dilakukan dengan sederhana serta inklusif, maka ia layak dipertahankan. Namun bila hanya menjadi ruang aktualisasi gengsi, ia perlu dikritisi.
Sudah saatnya negara, sekolah, dan orang tua bersama-sama merumuskan kembali makna kelulusan. Pendidikan bukan industri seremoni. Tugas utamanya adalah membekali siswa untuk hidup, bukan sekadar memoles kemasan akhir.
Kelulusan adalah sebuah transisi, bukan klimaks. Ia adalah perpisahan dari masa lalu dan penyambutan terhadap masa depan. Mari rayakan dengan makna, bukan sekadar megah. Semoga.*