79 Tahun Bhayangkara: Kita Butuh Polisi Pembela Kaum Lemah

Selasa, 1 Juli 2025 - 14:01 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id – Hingga hari ini, masih terdengar guyonan getir di masyarakat: “Kalau lapor kehilangan sapi ke polisi, bisa-bisa pulang malah hilang sapi dan kambing.” Ungkapan ini bukan sekadar satire, melainkan cermin dari persoalan yang lebih serius: krisis kepercayaan terhadap institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) mempertegas kenyataan ini. Dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Polri tercatat sebagai lembaga penegak hukum dengan tingkat kepercayaan terendah—hanya 71 persen. Masih di bawah Kejaksaan Agung (77%), Pengadilan (73%), dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (72%). Angka ini seharusnya menjadi alarm, bukan sekadar statistik yang lewat.

Polri bukan sekadar organisasi bersenjata. Ia adalah representasi negara di titik terdepan. Maka, saat warga tidak lagi percaya pada polisi, itu artinya negara kehilangan wajah yang paling awal dilihat rakyat dalam situasi krisis.

Dalam peringatan Hari Bhayangkara ke-79, Presiden Prabowo menyampaikan harapan penting: Indonesia membutuhkan polisi yang tangguh—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara moral. Polisi yang membela rakyat kecil, membela kaum lemah, dan berdiri di sisi mereka yang sering dilupakan sistem.

Baca Juga :  Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa

Pernyataan ini bukan basa-basi. Ia adalah kritik halus terhadap kenyataan bahwa banyak warga justru merasa terintimidasi saat berurusan dengan polisi. Fenomena munculnya lagu satir seperti “Bayar Bayar Bayar” karya Sukatani menjadi penanda bahwa citra polisi di ruang publik sedang retak. Rakyat tidak sedang mengada-ada. Mereka sedang mencoba menyuarakan ketidakberdayaan mereka melalui nada-nada sindiran.

Dalam wacana akademik, begawan hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo pernah menyebut polisi sebagai “pemegang besi panas”: aparat yang langsung berhadapan dengan kekacauan, kekerasan, bahkan tragedi. Tapi ia juga membedakan dua jenis polisi: polisi tradisional, yang dekat dan peka terhadap masyarakat, dan polisi modern, yang tunduk sepenuhnya pada komando birokrasi. Kita tahu, model yang kedua inilah yang sering lebih dominan dalam realitas Polri hari ini.

Polisi menjadi lebih takut pada atasannya daripada pada keluhan warga. Mereka lebih waspada terhadap perintah vertikal daripada jeritan horizontal. Dalam kondisi ini, idealisme pengayoman berubah menjadi rutinitas yang kehilangan empati.

Di sinilah akar masalahnya. Polisi hari ini tidak cukup hanya direformasi secara struktural. Mereka harus direformasi secara emosional. Perlu ada keberanian untuk menggeser orientasi kekuasaan menjadi orientasi keberpihakan. Menjadi polisi yang tangguh, ya. Tapi juga polisi yang hangat. Yang membela bukan yang kuat, tetapi yang tak punya suara.

Baca Juga :  Perguruan Tinggi dan Bahasanya

Restorasi kepercayaan publik harus dimulai dari dalam. Dimulai dari budaya organisasi yang menolak kekerasan, membasmi korupsi kecil, dan mendorong integritas sebagai standar sehari-hari. Polisi bukan hanya harus hadir saat kejahatan terjadi, tapi lebih penting: hadir sebelum warga kehilangan harapan.

Selanjutnya, partisipasi publik dalam mengawasi dan memperbaiki kinerja Polri tidak boleh dianggap sebagai gangguan. Justru itu sumber vital perbaikan. Membuka akses pelaporan, menghadirkan data aduan secara terbuka, dan memberi ruang evaluasi dari masyarakat sipil harus menjadi bagian dari reformasi total.

Momentum ulang tahun ke-79 Bhayangkara ini jangan hanya menjadi seremoni. Ia harus menjadi titik balik: dari polisi sebagai alat negara, menjadi polisi sebagai pembela warga. Khususnya warga yang paling lemah dan tertindas. Karena hanya dengan membela mereka yang paling lemah, polisi bisa menjadi benar-benar kuat. Dan hanya dengan merawat kepercayaan rakyat, Polri bisa menjadi institusi yang tidak hanya ditakuti, tapi juga dicintai.*

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Perguruan Tinggi dan Bahasanya
Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa
Ekoteologi Dan Iman Yang membumi
Ramalan Il Principe
Legitimasi Sistem Pendidikan
Kepemimpinan dan Pembangunan Nasional: Untuk Rakyat Atau Elit?
Setiap Putaran untuk Sebuah Mimpi: Kisah Dira, Remaja Jember yang Berlari Demi Orang Tuanya
Kebangkitan Kretek: Antara Selera Pasar Dan Celah Regulasi
Tag :

Baca Lainnya

Selasa, 1 Juli 2025 - 14:01 WIB

79 Tahun Bhayangkara: Kita Butuh Polisi Pembela Kaum Lemah

Kamis, 26 Juni 2025 - 20:06 WIB

Perguruan Tinggi dan Bahasanya

Senin, 2 Juni 2025 - 23:32 WIB

Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa

Selasa, 20 Mei 2025 - 20:22 WIB

Ekoteologi Dan Iman Yang membumi

Senin, 19 Mei 2025 - 18:26 WIB

Ramalan Il Principe

TERBARU

Kolomiah

79 Tahun Bhayangkara: Kita Butuh Polisi Pembela Kaum Lemah

Selasa, 1 Jul 2025 - 14:01 WIB