Keadilan Agraria di Ujung Tanduk : Saat Petani Membiayai Negeri, Tapi Tak Punya Hak di Tanah Sendiri

Kamis, 26 September 2024 - 23:11 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id – Di balik setiap tetes keringat petani saat bekerja, terselip ironi pahit. Petani yang menggarap tanah siang dan malam, tak seutuhnya benar-benar menikmati hasil jerih payahnya. Mereka bukanlah tuan atas tanah yang mereka garap, yang seharusnya menjadi pahlawan atas suburnya negeri agraris ini, justru terjebak dalam jurang kemiskinan. Mereka berkeringat untuk negeri, tapi apakah mereka benar-benar mendapat perhatian?

Realitas pahit ini tidak sekedar soal kemiskinan, ada yang lebih mendasar dari itu, keadilan agraria yang tidak pernah hadir. Dalam Konstitusi sudah terang benderang disebutkan, setiap warga negara memiliki hak atas tanah, sesuai amanat pasal 33 UUD 45.

“Bumi, air, kekayaan alam terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara” begitu amanat konstitusi. Namun pertanyaannya, dikuasai bagaimana? siapa yang menikmati kekuasaan itu? Petani di yang berkeringat membajak tanah demi keseburuan negeri ini ? atua segelintir elite yang duduk di kursi-kursi empuk ?

Negara sudah lama menetapkan berbagai aturan untuk menjamin kesejahteraan petani, bahkan konstitusi sudah mengamanatkan hak tersebut. Namun kenyataanya, kesenjangan antara hukum dan realitas masih ada pemisah yang menganga sangat lebar. Bukan sekadar persoalan ekonomi yang pincang, melainkan keadilan struktural yang berhubungan erat dengan penerapan hukum agraria dan kebijakan sosial-ekonomi yang terhuyung.

Baca Juga :  Negara atau Rentenir? STNK Mati, Motor Ikut Pergi

Merujuk pada UU No 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, secara eksplisit disebutkan bahwa negara berkewajiban menyediakan akses lahan, perlindungan hasil pertanian, serta subsidi sarana produksi. Namun kenyataanya apa? justru sebaliknya. Lahan-lahan petani kecil terus menyusut, harga hasil panen sering jatuh jauh dibawah biaya produksi, ditambah pupuk bersubsidi pun sulit diakses.

Hukum hanya menjadi pajangan di rak legislasi, tanpa ada komitmen serius dalam implementasinya. hukum yang semestinya melindungi malah sering kali tidak membumi dan menyentuh realitas di lapangan. Terdapat jurang besar antara teks undang-undang dan kenyataan nyata.

Lebih jauh lagi, UU No 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA), sebagai salah satu dasar hukum agraria di Indonesia, menghendaki pengaturan distribusi lahan yang adil. Namun, dalam pelaksanaanya, redistribusi lahan lebih banyak membawa keuntungan bagi para pengusaha besar dan korporasi.

Petani kecil semakin tersisihkan, lebih pilu dari itu banyak yang menjadi buruh di atas tanah yang dulunya milik nenek moyang mereka. Disinilah letak paradoksnya. Negara sudah dilengkapi dengan seperangkat aturan yang secara normatif menjamin hak-hak petani, lantas mengapa petani masih miskin di atas tanah sendri?

Salah satu akar masalahnya adalah lemahnya penegakan hukum dan minimnya pengawasan atas implimentasi regulasi tersebut. Kesenjangan antara kebijakan dan realitas ini memunculkan pertanyaan: seberapa serius negara mengurusi dan melindungi para patani?

Baca Juga :  Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Semestinya para petani tidak berada di garis kemiskinan, jika memang negara sudah menetapkan berbagai regulasi untuk melindungi hak-hak mereka ? Atua jangan-jangan hukum yang ada hanya formalitas yang kering keadilan substansial?

Tampaknya hanya terkesan megah dan pro-rakyat kecil, kenyataanya tidak demikian? Buktinya mengapa kebijakan redistribusi lahan serta perlindungan harga lebih condong pada korporasi ketimbang rakyat kecil ?

Regulasi tersebut tak lebih hanya sebatas teks mati, sekedar tumpukan-tumpukan pasal yang hampa nafas keadilan. Sudah waktunya pemerintah tidak melulu berjibaku menciptakan aturan diatas kertas, tapi memastikan implementasinya berjalan dengan tegas.

Reformasi agraria yang sesungguhnya harus segera diwujudkan, tidak berhenti pada slogan politik dengan narasi yang mendaki-daki. Tanpa kehadiran keadilan agraria, kesejahteraan petani hanya omon-omon saja.

Lantas jika demikian, apa gunanya tanah subur di negeri ini, jika rakyat yang menggarapnya justru terkecik oleh kebijakan yang tak berpihak pada meraka? Sampai kapan petani menikmati kesejahteraan, harus menunggu kiamat kurang dua hari ?*

*Moh. Wasik (Pengurus LKBHI UIN KHAS Jember dan santri Dar Al Falasifah Institut)

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Meluruskan Makna Kemanusiaan
Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan
Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi
Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 
Negara atau Rentenir? STNK Mati, Motor Ikut Pergi
Evaluasi Flyer Pemerintah di Website Media: Menimbang Maslahat dan Mafsadat dalam Komunikasi Publik

Baca Lainnya

Jumat, 18 April 2025 - 06:34 WIB

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Rabu, 16 April 2025 - 06:32 WIB

Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Rabu, 2 April 2025 - 13:20 WIB

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan

Selasa, 1 April 2025 - 08:23 WIB

Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Jumat, 21 Maret 2025 - 23:34 WIB

Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi

TERBARU

Opinia

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Jumat, 18 Apr 2025 - 06:34 WIB

Kolomiah

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II

Kamis, 17 Apr 2025 - 12:29 WIB