Frensia.id – Perkawinan bagi banyak orang digadang-gadang sebagai ibadah terpanjang yang tak berpangkal, kalaupun ada, hanya kematian tirai pemisahnya. Apa sebenarnya yang membuat ikatan dua orang dalam perkawinan disebut “selamanya”. Apakah karena mereka telah mengikat ikatan batin yang mendalam atau hanya kepentingan persyaratan administratif yang diwajibkan negara? Lihat saja, UU Perkawinan kita, mewajibkan itu.
Tampaknya UU Perkawinan mencoba mencaver keduanya, aspek lahir dan batin. Secara lahir negara merasa perlu mengatur untuk dicatatkan setiap perkawinan. Setelah ikatan lahir terjalin berupa pencatatan perkawinan, barulah ikatan batin dapat dibangun. Begitu kira-kira keinginan negara.
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.” Pasal 1 Undang-undang Perkawinan
Kenapa negara merasa perlu mengatur ini, terkesan negara kok mau ikut campur urusan cinta seseorang. Apalagi hubungan cinta suami istri yang sangat rahasia sekali. Apakah ikatan batin dua orang yang saling mencintai seperti suami istri tidak tercipta tanpa ada ikatan lahir berupa pencatatan?
Tentu tidak juga, cinta dan ikatan batin dua orang yang saling mencintai sebanrnya tak perlu dicatatkan. Buktinya, di Pengadilan Agama banyak dijumpai permohonan isbat konstensius. Isbat kontensius merupakan permohonan pengesahan nikah yang diajukan oleh salah satu pihak, permohonan ini diajujan jika salah satu pasangan telah meninggal dunia.
Pihak yang mengajukan Isbat kontensius, kebanyakan orang tua yang sudah sepuh atau lanjut usia. Jangankan anak, mereka sudah dikarunia cucu. Dari fenomena ini, terlihat cinta dan komitmen tak butuh dicatatkan. Relasi suami istri mereka abadi meski tak terdaftar secara administrasi negara.
Namun, bukan berarti tak penting dicatatkan, apalagi negara Indonesia yang sejak awal mengaku negara hukum. Meskipun ikatan bantin tercipta tanpa pencatatan, pengakuan negara tetap diperlukan. Sebab ikatan suami istri secara baik batin terlebih secara lahir tidak hanya untuk dirinya, melainkan untuk legitimasi bagi mereka yang punya relasi dengannya.
Misalnya, kepentingan hak waris, hak asuh anak dan perlindungan hukum lainnya. Hal ini menunjukkan cinta mereka bukan cinta yang egois, hanya mementingkan emosional mereka berdua, melainkan untuk orang terdekat dan tercintanya.
Frasa ”ikatan lahir batin’ menunjukkan cinta sepasang suami istri tidak cukup dilandasi komitmen dan ikatan batin, tetapi juga perlu formalitas ikatan lahir. Hanya saja, ikatan lahir ini bukan sekadar kontrak formal an-sich, tanpa ada dorongan kuat. Disini, UU Perkawinan mengingatkan kebahagiaan dalam perkawinan memerlukan dua sisi yang harus diakomodasi.
Mencintai pasangan tidak perlu tercatat dalam lembaran apapun; namun, cinta yang terukir dalam buku nikah, bersanding dengan ikatan batin, akan melahirkan hubungan yang istimewa. Semoga.