Frensia.id- Aneh, mengejutkan dan sulit dipercaya, begitulah kesan yang mungkin muncul di benak lebih dari 281 juta penduduk Indonesia saat mendengar pernyataan Prabowo Subianto. Ia mengusulkan bahwa koruptor bisa mendapatkan pengampunan hanya dengan mengembalikan uang negara yang telah dicuri.
Presiden ke 8 itu bahkan menyarankan agar pengembalian uang itu dilakukan secara diam-diam, agar tidak diketahui banyak orang. Ide ini jelas menuai beragam reaksi dan memicu perdebatan panas tentang makna keadilan bagi para koruptor.
Sebenarnya, wacana ini bukan hal baru. Sejak 2011, ide ‘gila’ yang serupa sudah pernah muncul dari politisi, bahkan waktu itu oleh Ketua DPR, Marzuki Alie mengusulkan agar masyarakat memaafkan koruptor asalkan mereka menyerahkan uang yang telah dicuri. Wacana penegakan hukum ini memang telah ramai dibicarakan oleh elite politik, namun banyak yang menganggapnya sebagai ide yang tidak realistis dan berpotensi merusak sistem hukum.
Tak jauh berbeda dengan usulan sebelumnya, Prabowo dan Menteri Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pengembalian uang negara menjadi fokus utama. Menurut Yusril, hal ini lebih penting daripada menghukum koruptor karena akan lebih bermanfaat untuk pemulihan ekonomi negara. Namun, meskipun tujuan pengembalian aset terlihat mulia, banyak yang meragukan efektivitas pendekatan ini dalam memberantas korupsi secara tuntas.
Amnesti Koruptor, Bertentangan Hukum
Peneliti di Pusat Kajian Anti-Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zainur Rohman, seperti dilansir dari voaindonesia.com menilai meskipun wacana tersebut berniat baik, kenyataannya dapat berbahaya dan bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Menurut Zainur, dalam Pasal 4 UU Tipikor, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana. Sehingga penuntutan terhadap koruptor tetap berlaku meskipun mereka telah mengembalikan hasil korupsi kepada negara.
Sejalan dengan itu, peneliti di Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, menilai pernyataan Presiden Prabowo ini sebagai “serampangan” karena sistem hukum Indonesia tidak mengenal amnesti bagi koruptor atau pelaku kejahatan ekonomi.
Merujuk pada negara-negara dengan skor Corruption Perception Index (CPI) yang tinggi, Alvin menekankan bahwa negara-negara tersebut justru memaksimalkan hukuman pidana dan perampasan aset, bukan memberikan amnesti kepada para pelaku korupsi.
Mengabaikan Keadilan Restoratif dan Kerugian Sosial
Wacana pengampunan koruptor dengan syarat pengembalian uang negara berpotensi mengabaikan prinsip keadilan restoratif yang sejati. Keadilan bukan hanya soal mengembalikan kerugian materiil, tetapi juga melibatkan pemulihan kepercayaan publik dan perbaikan sistem sosial yang tercemar oleh korupsi.
Jika kebebasan diberikan hanya berdasarkan pengembalian uang, hal ini dapat melemahkan efek jera terhadap praktik korupsi. Para pelaku tahu bahwa mereka bisa “membeli” kebebasan dengan uang. Ini justru berisiko meningkatkan tindak pidana korupsi di masa depan.
Lebih jauh lagi, Pengampunan tersebut juga tidak menyelesaikan masalah ketimpangan sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh korupsi. Koruptor sering kali memperkaya diri dengan merugikan rakyat kecil dan memiskinkan negara.
Namun, dengan pengampunan ini, kerugian sosial yang lebih besar tidak pernah diakui atau diperhitungkan. Sehingga, kebijakan ini tidak memberikan solusi pada ketidakadilan sosial yang lebih luas, dan malah memperburuk situasi.
Selain itu, kebijakan pengampunan ini dapat menciptakan preseden berbahaya bagi sistem hukum. Jika hukuman bisa dinegosiasikan dengan uang, prinsip kesetaraan di depan hukum akan terganggu, dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga hukum.
Pada pucuknya hukum tampak tidak lagi berfungsi untuk menegakkan keadilan bagi rakyat, melainkan lebih untuk kepentingan mereka yang memiliki kekuatan ekonomi. Keputusan ini menunjukkan bahwa hukum lebih berpihak pada pelaku kejahatan, daripada pada rakyat yang menjadi korban.