Frensia.id -Berbeda dengan putusan tentang presidential threshold yang bisa dibilang memuaskan, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan dosen PNS menjadi advokat sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat justru memunculkan keanehan.
Pasalnya, putusan ini dianggap sebagai terobosan yang mendukung Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tetapi, di balik itu, aturan yang menyertainya justru melahirkan lebih banyak batasan daripada peluang.
Apakah ini benar-benar pengabdian kepada masyarakat? Ataukah justru sekadar formalitas yang terjebak dalam kerangkeng syarat administratif yang begitu tidak masuk akal?
Mengapa demikian? Putusan Nomor 150/PUU-XXII/2024 mensyaratkan dosen PNS begitu ketat. Seperti telah mengajar minimal lima tahun, bergabung tiga tahun di lembaga bantuan hukum (LBH), dan hanya boleh menangani kasus secara pro-bono.
Ketentuan ini terlihat seperti upaya mengontrol kualitas pengabdian. Tetapi sebenarnya malah menciptakan diskriminasi terhadap dosen yang belum memenuhi syarat administratif.
Misalnya, seorang dosen PNS yang baru dua tahun bertugas, tetapi sebelumnya telah menjadi advokat, katakanlah selama dua tahun, tidak diizinkan berpraktik meskipun ia memiliki pengalaman dan kemampuan yang cukup. Putusan ini mengesankan bahwa pengabdian kepada masyarakat hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memenuhi kriteria tertentu, bukan berdasarkan kompetensi dan ketulusan.
Jika pengabdian adalah tujuan utama, mengapa harus ada limitasi waktu lima tahun sebagai dosen PNS dan tiga tahun di LBH? Bukankah inti pengabdian terletak pada niat tulus untuk membantu masyarakat, bukan pada lamanya pengalaman administratif?
Dalam praktiknya, banyak kasus sederhana yang dapat ditangani oleh dosen dengan pengalaman advokasi singkat, seperti kasus perceraian, kekerasan dalam rumah tangga (DKRT) yang memerlukan pendampingan, isbat kontensius untuk warga lanjut usia, dispensasi, perwalian, atau bantuan hukum bagi masyarakat miskin, yang tidak memerlukan keahlian kompleks.
Mengapa kesempatan ini harus dibatasi oleh aturan yang tidak relevan? Bukankah kasus-kasus tersebut juga bisa ditangani oleh advokat yang telah berpraktik selama dua tahun? Lalu, apa alasan mengharuskan seorang dosen memiliki pengalaman mengajar selama lima tahun?
Mengapa durasi waktu tersebut menjadi syarat yang harus dipenuhi, padahal kompetensi dan tujuan baik untuk memberikan pengabdian seharusnya lebih dihargai daripada sekadar memenuhi ketentuan administratif yang kaku?
Lebih jauh lagi, syarat ini justru berpotensi menghalangi idealisme dan niat baik dosen muda untuk terlibat langsung dalam pengabdian masyarakat. Bukannya mendorong kontribusi nyata, aturan ini malah menciptakan kesan ‘mengkerangkeng’ pengabdian.
Jika MK benar-benar ingin memastikan kualitas, maka cukup dengan menetapkan bahwa dosen yang berminat menjadi advokat harus lulus ujian kompetensi advokat serta memenuhi persyaratan lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, mereka juga harus bersedia menangani kasus-kasus tertentu yang sesuai dengan kapasitas dan keahlian yang dimilikinya.
Aturan semacam ini menawarkan fleksibilitas dan inklusivitas tanpa mengurangi standar kualitas. Aspek utama yang perlu diperhatikan adalah pemberian bantuan hukum secara pro bono/cuma-cuma, sebagai wujud nyata pengabdian kepada masyarakat.
Di sisi lain, keputusan ini juga memunculkan dilema. Tujuan MK adalah mendorong pengabdian masyarakat melalui advokasi, mengapa harus membatasi pengabdian hanya pada jalur ini? Dosen PNS memiliki banyak cara untuk mengabdi, seperti melalui penelitian terapan, penyuluhan hukum, atau pelatihan masyarakat.
Aturan yang memperbolehkan dosen menjadi advokat terkesan pengabdian masyarakat melalui advokasi hukum gratis mengambil wilayah pengabdian advokat. Jika pengabdian ini tetap dijalankan oleh dosen, hal tersebut jelas tidak mencerminkan keberagaman dalam pengabdian masyarakat.
Lebih bijak bagi MK untuk kembali pada esensi pengabdian masyarakat, memberikan manfaat langsung kepada masyarakat tanpa membebani dengan syarat yang rumit. Pengabdian melalui advokasi tetap dapat dibuka, namun syarat yang ditetapkan seharusnya lebih fleksibel.
Pengabdian dapat difokuskan pada advokasi dengan memastikan kompetensi dan kesanggupan dosen untuk menangani kasus sesuai kapasitas mereka. Dosen PNS juga dapat fokus pada pengabdian di luar advokasi, sehingga tercipta pemerataan peran antara profesi advokat dan dosen dalam melayani masyarakat
Putusan MK ini, alih-alih membuka peluang baru, justru menambah kerumitan. Pengabdian seharusnya sederhana dan tulus, tidak dibatasi oleh administrasi berlebihan.
Bukannya memperkuat Tri Dharma Perguruan Tinggi, putusan ini justru menunjukkan kegagalan memahami esensi pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian tidak seharusnya terbelenggu oleh aturan yang membingungkan, melainkan ketulusan dan ketuntasan. *