Frensia.id – Nicolae Ceausescu, Presiden Rumania yang berkuasa selama 25 tahun—ditemukan tewas bersama istrinya, Elena, di tengah lapangan kosong yang dikelilingi tentara pada pagi Natal 25 Desember 1989.
Mayatnya bersimbah darah, mengenakan jas hitam yang selama ini menjadi simbol kekuasaannya.
Kematian tragis itu menjadi akhir dari rezim diktator yang semula diyakini tak tergoyahkan.
Kisahnya menjadi pengingat abadi bahwa kekuasaan yang lalim akan tumbang oleh amarah rakyat yang tertindas.
Dari Puncak Kekuasaan ke Jurang Kehancuran
Ceausescu memerintah Rumania sejak 1974 dengan tangan besi. Didukung penuh oleh militer, Partai Komunis Rumania (PCR), dan media yang dikendalikan.
Untuk mendukung kediktatorannya, ia membangun citra sebagai pemimpin yang tak terbantahkan.
Marin Sorescu, seorang penyair Rumania menggambarkannya dengan satire pedasnya.
“Batuknya adalah perintah membungkam, teriakannya adalah perintah melenyapkan, dan humornya adalah pembantaian!”
Ungkapan ini mencerminkan betapa menakutkannya kekuasaan Ceausescu, yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan posisinya.
Selama puluhan tahun, rakyat dipaksa tunduk di bawah teror, sementara Ceausescu dan lingkaran dalamnya hidup dalam kemewahan.
Namun, pada 21 Desember 1989, gejolak yang lama terpendam meledak. Rakyat sipil turun ke jalan di Bukarest, menolak pidato Ceausescu yang penuh kebohongan.
Awalnya, tentara dikerahkan untuk menembaki demonstran. Tapi dalam hitungan jam, situasi berbalik, sebagian besar tentara dan anggota partai memilih berpihak pada rakyat.
Sejarawan Mircea Munteanu dalam catatan revolusinya menjelaskan bahwa mereka lelah menjadi alat represi, sementara rakyat kelaparan dan dipermalukan.
Ceausescu percaya bahwa selama elit politik dan militer loyal, tahtanya aman. Ia mengabaikan kenyataan bahwa rakyat-yang dianggapnya buta politik, telah mencapai titik jenuh.
Ketidakadilan ekonomi, represi, dan kesombongannya menjadi bensin bagi revolusi. Dalam empat hari, rezimnya yang kokoh runtuh seperti rumah kartu.
Pelajarannya jelas, kekuasaan sejati bukanlah jumlah senjata atau dukungan segelintir elit, melainkan legitimasi dari rakyat.
Ceausescu lupa bahwa sejarah akan selalu berulang, dari Revolusi Prancis hingga Arab Spring, rakyat selalu punya cara untuk menggulingkan tirani.
Bahkan di era modern, di mana informasi sulit dibungkam, kekuatan massa semakin tak terbendung.
Refleksi untuk Pemimpin Masa Kini
Kisah Ceausescu ini merupakan cermin bagi para penguasa hari ini, agar mengambil pelajaran berharga.
Ketika kebijakan hanya menguntungkan kroni, ketika suara rakyat dianggap angin lalu, dan ketika kekerasan dijadikan solusi—itu adalah awal dari kehancuran.
Sebagaimana kata pepatah Rumania pasca revolusi. Angin perubahan bisa datang kapan saja, dan tak ada tembok yang cukup tinggi untuk menahannya.
Akhirnya, kematian Ceaușescu bukan sekadar akhir seorang diktator. Tragedi tersebut menjadi bukti bahwa dalam demokrasi sejati, rakyat—bukan elit—adalah pemegang kedaulatan tertinggi.
Dan sejarah akan selalu berpihak pada mereka yang berani memperjuangkan keadilan.