Frensia.id- Puasa itu latihan menahan diri. Tapi anehnya, di bulan Ramadhan justru banyak orang kehilangan kendali. Lihat saja fenomenanya: jalanan lebih macet, pasar lebih ramai, orang lebih gampang marah, dan harga kebutuhan pokok naik entah karena apa. Yang paling menarik, justru konsumsi makanan meningkat. Puasa yang harusnya membuat orang lebih hemat, malah jadi bulan pesta makan setelah azan magrib.
Lalu datanglah doa hari ketiga Ramadhan:
اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي فِيْهِ الذِّهْنَ وَالتَّنْبِيَّة، وَبَاعِدْنِي فِيْهِ مِنَ السَّفَاهَةِ وَالتَّمْوِيْهِ، وَاجْعَلْ لِي نَصِيبًا مِنْ كُلِّ خَيْرٍ تُنْزِلُ فِيْهِ، بِجُودِكَ يَا أَجْوَدَ الْأَجْوَدِينَ
Ya Allah, karuniakan kepadaku di dalamnya pengetahuan dan kesadaran, jauhkan daku di dalamnya dari kebodohan dan kepalsuan, dan berikan kepadaku bagian dari setiap kebaikan yang diturunkan di dalamnya dengan kedermawanan-Mu wahai Yang Maha Dermawan semua yang dermawan
Doa ini tampaknya sederhana, tapi isinya tajam.
Kebodohan dan kepalsuan adalah dua penyakit yang sulit diobati. Orang bodoh biasanya tidak sadar kalau dirinya bodoh, dan orang palsu sering kali lebih meyakinkan daripada yang asli. Di bulan puasa, penyakit ini muncul dalam berbagai bentuk. Ada orang yang rajin ke masjid, tapi masih suka menyerobot antrean takjil. Ada yang khusyuk mengaji, tapi juga rajin menyebar hoaks di grup WhatsApp keluarga. Dan ada yang seharian menahan lapar, tapi saat buka puasa, menumpuk makanan seperti ingin balas dendam pada nasib.
Kepalsuan itu memang menular. Sejak kecil, kita diajari bahwa puasa adalah ibadah yang penuh kesabaran dan kejujuran. Tapi kenyataan berkata lain. Lihatlah orang yang puasa tapi tetap korupsi, pejabat yang berbicara soal kesejahteraan rakyat tapi tidak bisa menahan diri dari proyek-proyek bancakan. Atau selebriti yang tiba-tiba hijrah di bulan Ramadhan, lalu kembali ke kebiasaan lamanya setelah Lebaran. Semua serba instan, bahkan taubat pun ada masa kadaluarsanya.
Karena itu, doa ini mengingatkan kita untuk berpikir jernih dan sadar. Jangan sampai kita hanya menjalankan puasa secara fisik, tapi pikiran tetap dibiarkan kosong. Orang yang berakal akan bertanya: mengapa kita berpuasa? Apa hubungannya dengan keadilan sosial? Mengapa harga sembako naik setiap Ramadhan? Kenapa setiap tahun pemerintah selalu bilang stok pangan aman, tapi di pasar harga terus meroket?
Doa ini juga meminta dijauhkan dari kepalsuan. Ini penting, terutama di zaman ketika kebenaran lebih sering kalah dari popularitas. Kita hidup di era di mana orang lebih percaya seleb TikTok daripada ahli, lebih yakin dengan video 30 detik daripada hasil riset bertahun-tahun. Bahkan di bulan Ramadhan, masih ada yang percaya kalau minum es saat buka bisa menyebabkan jantung berhenti mendadak.
Maka, puasa yang sejati bukan hanya menahan lapar, tapi juga menahan diri dari menjadi bodoh dan tertipu oleh kepalsuan. Jangan sampai kita berpuasa sebulan penuh, tapi setelah itu tetap kembali menjadi manusia yang sama—mudah marah, gampang percaya hoaks, dan tidak pernah mempertanyakan kenapa hidup ini rasanya kok makin berat.
Ramadhan seharusnya jadi bulan refleksi. Jika kita masih terjebak dalam kebodohan dan kepalsuan, maka puasa kita belum benar-benar mendidik. Jika setelah Lebaran kita tetap mudah tersinggung, tetap percaya pada berita palsu, dan tetap tidak peduli pada persoalan masyarakat, maka mungkin yang kita jalani bukan puasa, tapi sekadar diet menunda makan.
Selamat menjalani puasa, semoga kita dijauhkan dari kebodohan dan kepalsuan.