Masa Depan Pendidikan Indonesia: Saatnya Segarkan Kembali Model Oliva

Rabu, 16 April 2025 - 14:17 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Masa Depan Pendidikan Indonesia: Saatnya Segarkan Kembali Model Oliva (Sumber: Grafis Frensia)

Gambar Masa Depan Pendidikan Indonesia: Saatnya Segarkan Kembali Model Oliva (Sumber: Grafis Frensia)

Oleh: Halimatus Sa’diyah*

Frensia.id- Satu dekade terakhir, dunia pendidikan Indonesia terus bergeliat mencari bentuk terbaik dari sebuah proses belajar yang ideal. Perubahan kurikulum datang silih berganti—dari Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka.

Semua perubahan ini membawa semangat pembaruan. Namun, di balik semangat itu, tetap tersisa pertanyaan yang menggantung: apakah kita benar-benar mengembangkan kurikulum berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan, atau hanya mengganti kulit tanpa mengubah isi?

Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Di banyak ruang kelas, kita masih menjumpai pembelajaran yang berpusat pada guru, penyampaian materi yang normatif, dan evaluasi yang sekadar mengukur ingatan, bukan pemahaman. Padahal, tujuan pendidikan bukan sekadar mengisi kepala peserta didik dengan pengetahuan, melainkan membentuk karakter, mengasah keterampilan, dan mempersiapkan mereka menghadapi dunia yang berubah dengan cepat.

Maka, di sinilah kurikulum menjadi titik pangkal: sebuah peta besar yang mengarahkan arah pendidikan, bukan sekadar daftar mata pelajaran.

Peter F. Oliva, dalam karya terkenalnya Developing the Curriculum, menawarkan sebuah pendekatan yang masih relevan hingga hari ini. Model Oliva bukan sekadar tentang menyusun isi pelajaran, tapi tentang menyusun visi pendidikan yang menyeluruh dan dinamis.

Model ini terdiri dari dua belas fase, yang membentang dari identifikasi kebutuhan peserta didik dan masyarakat, hingga evaluasi kurikulum secara menyeluruh. Ia menawarkan proses yang sistematis, komprehensif, dan adaptif—ciri-ciri penting dari sebuah kurikulum yang hidup.

Model ini sesungguhnya telah mulai diadopsi dalam semangat sejak Kurikulum 1975, walau mungkin belum sepenuhnya eksplisit. Kurikulum kala itu telah menggarisbawahi pentingnya merancang tujuan secara sistematis, menyusun isi pembelajaran, memilih strategi yang tepat, dan melakukan evaluasi secara berkelanjutan.

Semua ini sejalan dengan semangat Model Oliva. Bahkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, lima komponen utama kurikulum: tujuan, isi, metode, organisasi, dan evaluasi—semuanya mencerminkan struktur Model Oliva.

Baca Juga :  Wakil Rakyat Dan Negara Suka-suka

Namun, meski kerangka ini telah ada, persoalan muncul pada penerapannya. Banyak kurikulum kita masih bersifat top-down, dibuat di tingkat pusat tanpa cukup melibatkan realitas di sekolah dan komunitas.

Akibatnya, guru sebagai ujung tombak pelaksana kurikulum sering kali hanya menjadi pelaksana teknis, bukan perancang pembelajaran. Ruang partisipasi mereka dalam merumuskan tujuan dan strategi sering kali terbatas.

Di sinilah kita perlu menengok kembali pada pendekatan induktif dari Oliva—dimulai dari kebutuhan, bukan dari kebijakan. Sebuah model pengembangan kurikulum yang hidup seharusnya tidak hanya bermula dari dokumen kebijakan pusat, tetapi juga lahir dari percakapan di ruang kelas, dinamika komunitas lokal, hingga aspirasi peserta didik itu sendiri. Di sinilah pendidikan menjadi sebuah ekosistem, bukan sekadar institusi.

Jika kita lihat fase awal dari Model Oliva—spesifikasi kebutuhan—seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Apakah kurikulum saat ini benar-benar menjawab kebutuhan peserta didik Indonesia dari Sabang sampai Merauke? Apakah kurikulum kita mampu menjangkau realitas sosial di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar)? Ataukah kita masih terjebak dalam pendekatan seragam yang justru mereduksi keragaman?

Selanjutnya, fase-fase dalam model ini seperti penjabaran tujuan umum dan khusus, pemilihan strategi, serta evaluasi berkelanjutan memberi ruang bagi keterlibatan banyak pihak—bukan hanya ahli kurikulum, tetapi juga guru, kepala sekolah, orang tua, bahkan peserta didik sendiri. Kita perlu menegaskan kembali bahwa kurikulum bukan hanya milik negara, tetapi milik bersama.

Tantangan ke depan juga semakin kompleks. Di tengah disrupsi teknologi, peserta didik harus siap menghadapi realitas yang belum tentu diajarkan di sekolah. Mereka perlu kemampuan berpikir kritis, komunikasi lintas budaya, literasi digital, dan ketahanan emosional.

Baca Juga :  Jatuhnya Nicolae Ceausescu, Pelajaran bagi Pemimpin Masa Kini

Maka, pendekatan kurikulum kita pun harus berubah. Tidak cukup hanya mengandalkan daftar mata pelajaran dan silabus yang kaku. Kurikulum masa depan haruslah fleksibel, kolaboratif, dan terus-menerus diperbaharui.

Kurikulum Merdeka yang diluncurkan tahun 2022 sebenarnya telah membuka peluang ke arah sana. Memberi kebebasan pada sekolah dan guru untuk merancang pembelajaran sesuai kebutuhan lokal.

Namun kebijakan ini akan sia-sia jika guru tidak diberi ruang pelatihan dan pengembangan profesional yang memadai. Tanpa itu, semangat merdeka belajar akan terjebak pada kebingungan teknis di lapangan.

Karena itu, saatnya kita tidak hanya menengok Model Oliva sebagai teori, tetapi menggali potensinya lebih dalam. Misalnya, bagaimana jika fase evaluasi kurikulum dilakukan bersama komunitas sekolah, bukan hanya oleh dinas? Atau bagaimana jika spesifikasi kebutuhan dikembangkan melalui riset partisipatif yang melibatkan siswa dan orang tua?

Bahkan lebih jauh, bagaimana jika pengembangan kurikulum menjadi agenda kolaboratif antara sekolah, dunia industri, dan organisasi masyarakat sipil?

Di sinilah model Oliva bisa menjadi fondasi untuk membangun kurikulum yang benar-benar hidup—yakni kurikulum yang bukan hanya mempersiapkan siswa lulus ujian, tapi mempersiapkan mereka menjadi manusia seutuhnya.

Maka, jangan jadikan model ini sebagai dokumen mati. Jadikan ia sebagai ruang eksperimen, inovasi, dan refleksi berkelanjutan. Kita tidak kekurangan ide, kita hanya perlu keberanian untuk mengubah cara berpikir dan bekerja.

Akhirnya, membangun kurikulum bukan sekadar membangun sistem pengajaran. Ia adalah pekerjaan membangun masa depan. Karena di dalamnya terdapat harapan, nilai, dan arah bangsa ini ke depan. Maka mari kita rawat semangat pembaruan ini, agar pendidikan Indonesia tidak sekadar mengejar ketertinggalan, tetapi benar-benar menjadi kekuatan utama dalam menciptakan peradaban yang maju dan berkeadaban.

Penulis : *Mahasiswa Program Doktoral Universitas Negeri Surabaya Program Studi Teknologi Pendidikan dan Sekaligus Dosen di STAI Cendekia insani, Situbondo.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II
Enaknya Jadi Keluarga Koruptor
Di Liga Champions UEFA, Menang Justru Lebih Melelahkan
Belajar dari Arsenal dan Real Madrid
Dari Puasa (Ramadhan) ke Pembiasaan
Kita Adalah Don Quixote yang Terhijab
Lebaran yang Membumi
Takbir Melawan Korupsi

Baca Lainnya

Kamis, 17 April 2025 - 12:29 WIB

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II

Rabu, 16 April 2025 - 14:17 WIB

Masa Depan Pendidikan Indonesia: Saatnya Segarkan Kembali Model Oliva

Selasa, 15 April 2025 - 14:46 WIB

Enaknya Jadi Keluarga Koruptor

Kamis, 10 April 2025 - 18:09 WIB

Di Liga Champions UEFA, Menang Justru Lebih Melelahkan

Rabu, 9 April 2025 - 14:01 WIB

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid

TERBARU

Opinia

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Jumat, 18 Apr 2025 - 06:34 WIB

Kolomiah

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II

Kamis, 17 Apr 2025 - 12:29 WIB