Meluruskan Makna Kemanusiaan

Jumat, 18 April 2025 - 06:34 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id Di ruang publik kita, kata “kemanusiaan” sering kali menjelma menjadi tameng empuk untuk melindungi yang berkuasa, bukan yang terluka. Ketika Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa penyitaan aset hasil korupsi harus memperhatikan keadilan bagi keluarga koruptor, kita sedang berhadapan dengan satu gejala klasik dalam sejarah hukum: humanisme selektif.

Presiden, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, memang patut mempertimbangkan banyak aspek sebelum membuat pernyataan publik. Namun dalam kasus korupsi, di mana kerusakan yang ditimbulkan adalah sistemik dan berkelanjutan, kita perlu waspada terhadap pembelokan makna kemanusiaan.

Kemanusiaan, sebagaimana dipahami dalam etika publik dan filsafat hukum, bukanlah sekadar perasaan belas kasihan kepada individu, melainkan perlindungan terhadap hak-hak kolektif warga negara dari kezaliman struktural.

Di sinilah kita perlu mengingat kembali sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Frasa ini bukan susunan kata yang bisa dipilah-pilih. Kemanusiaan yang dimaksud bukanlah sentimentalitas kosong yang mengasihani pelaku kejahatan, melainkan kemanusiaan yang berdiri di atas keadilan dan keadaban.

Tanpa keadilan, kemanusiaan kehilangan makna; tanpa keadaban, keadilan kehilangan arah. Dua unsur ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Maka membela kemanusiaan tanpa memikirkan keadilan—termasuk bagi korban korupsi—adalah pengingkaran terhadap semangat Pancasila itu sendiri.

Korupsi bukan sekadar kejahatan terhadap negara, tapi juga terhadap rakyat yang kehilangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, air bersih, dan pekerjaan yang layak. Apakah kita lupa bahwa anak-anak di desa yang putus sekolah karena anggaran pendidikan diselewengkan juga manusia? Apakah ibu-ibu yang antre berobat di puskesmas dengan fasilitas minim karena dana kesehatan dikorupsi, tidak pantas mendapat perlindungan kemanusiaan?

Baca Juga :  Enaknya Jadi Keluarga Koruptor

Maka, jika negara hendak bicara tentang nilai-nilai kemanusiaan dalam konteks korupsi, orientasi utamanya harus pada korban yang paling terdampak, bukan pada pelaku atau keluarganya. Kita tentu tidak menghendaki anak istri koruptor diperlakukan semena-mena. Tapi jangan pula kita membangun narasi seolah mereka korban utama.

Narasi ini, bila tidak dikritisi, akan memperkuat ilusi bahwa koruptor dan lingkarannya patut dikasihani, sementara jutaan rakyat yang menjadi korban akibat hilangnya pelayanan publik dibiarkan dalam sunyi.

Dalam filsafat keadilan distributif, seperti diajarkan John Rawls, ketidakadilan hanya bisa dibenarkan bila itu menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung. Dalam hal ini, kebijakan penyitaan aset koruptor justru selaras dengan prinsip itu: negara mengambil kembali yang telah dirampas demi memulihkan keadilan sosial.

Bila ada sebagian keluarga koruptor yang terdampak secara material, maka itu adalah risiko yang harus dipertimbangkan dalam kerangka tanggung jawab kolektif, bukan belas kasihan emosional.

Konstitusi kita pun sejatinya telah memberikan pijakan yang kokoh. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Prinsip ini bukan sekadar teks legalistik, tapi fondasi etika politik dan keadilan nasional. Maka, membela keluarga koruptor atas nama kemanusiaan tanpa memikirkan keadilan bagi seluruh warga, sama saja melanggar amanat konstitusi itu sendiri.

Baca Juga :  Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Di sinilah kita perlu membedakan dua jenis penderitaan: penderitaan karena sistem yang tidak adil, dan penderitaan sebagai konsekuensi dari kejahatan yang dilakukan anggota keluarga. Keduanya tidak setara secara moral. Yang pertama membutuhkan perjuangan sosial dan reformasi kebijakan. Yang kedua membutuhkan akuntabilitas dan pembelajaran etis agar generasi berikutnya tidak mengulangi dosa yang sama.

Presiden boleh saja berbicara sebagai negarawan, bukan sebagai hakim. Tetapi seorang negarawan yang arif seharusnya mendidik bangsa untuk memahami keadilan secara lebih struktural, bukan hanya sebagai soal moral individual. Jangan sampai, dalam upaya kita menjadi “manusiawi”, kita justru gagal menjadi adil.

Kemanusiaan tanpa keadilan adalah sentimentalitas kosong. Ia mudah dipakai untuk membungkus impunitas. Sebaliknya, keadilan yang berakar pada kemanusiaan menuntut keberanian untuk menyentuh akar masalah, bukan sekadar ranting-ranting emosional.

Saat ini, yang dibutuhkan bukan belas kasihan untuk keluarga koruptor, tapi sistem hukum yang bekerja secara adil, transparan, dan tanpa pandang bulu. Itulah bentuk kemanusiaan yang sesungguhnya: ketika negara berpihak kepada mereka yang tak punya kuasa untuk bersuara, dan bukan kepada mereka yang sudah lama menikmati kekuasaan dalam senyap.*

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan
Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi
Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 
Negara atau Rentenir? STNK Mati, Motor Ikut Pergi
Evaluasi Flyer Pemerintah di Website Media: Menimbang Maslahat dan Mafsadat dalam Komunikasi Publik
Menjaga Alam, Merawat Kehidupan
Tag :

Baca Lainnya

Jumat, 18 April 2025 - 06:34 WIB

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Rabu, 16 April 2025 - 06:32 WIB

Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Rabu, 2 April 2025 - 13:20 WIB

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan

Selasa, 1 April 2025 - 08:23 WIB

Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Jumat, 21 Maret 2025 - 23:34 WIB

Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi

TERBARU

Opinia

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Jumat, 18 Apr 2025 - 06:34 WIB

Kolomiah

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II

Kamis, 17 Apr 2025 - 12:29 WIB