Frensia.id – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banyuwangi melalui panitia khusus (Pansus) gabungan Komisi II dan Komisi III mengkaji usulan penurunan tarif pajak daerah dalam lanjutan pembahasan Raperda Perubahan Perda No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Pada rapat kerja kali ini, Pansus pembahasan Perubahan Perda PDRD mempertanyakan alasan dan argumentasi dari pemerintah daerah atas penyesuaian atau kenaikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang telah diberlakukan, penurunan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa kesenian dan hiburan khususnya diskotek, tempat karaoke Klub malam dari 50 persen turun menjadi 40 persen.
Selain itu, Pajak Air Tanah (PAT) dari 20 persen menjadi 10 persen, dan batas transaksi maksimal yang dikenakan pajak untuk UMKM.
Ketua Gabungan Komisi II dan III Pembahasan Perubahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DPRD, Muhammad Ali Mahrus mengatakan bahwa target penerimaan pajak bumi dan bangunan selama ini dinilai masih stagnan diangka 60 miliar.
”Pagu PBB selama ini hanya tercapai dikisaran 60 miliar, satu sisi pajaknya tidak tercapai disisi lainnya NJOP dinaikkan, padahal NJOP ini sasaranya hanya untuk BPHTP atau jual beli, namun setidaknya ini menjadi acuan kita dalam pembahasan,” ucap Mahrus saat dikonfirmasi media, Kamis (10/07/25).
Menurut politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini, kenaikan NJOP di Banyuwangi cukup signifikan, misalnya dari tarif NJOP sebesar Rp. 36 ribu menjadi Rp. 336 ribu atau naik 10 kali lipat dari sebelumnya menjadi pertanyaan dasar apa yang digunakan dan hitungannya seperti apa.
”Ternyata kenaikan NJOP itu yang digunakan landasan adalah Peraturan Bupati (Perbup) dengan dasar hasil appraisal dengan salah satu perguruan tinggi, namun kenyataan di lapangan banyak keluhan dari masyarakat,” jelasnya.
Kenaikan NJOP akan berpengaruh pada BPHTP karena perhitungannya berdasarkan NJOP sehingga kenaikan NJOP akan menyebabkan peningkatan tarif BPHTP yang akan dibayarkan.
”Kami sangat prihatin atas keluhan masyarakat terhadap kenaikan NJOP ini, dalam Perda No.1 tahun 2024, sebenarnya telah diatur bahwa penyesuaian NJOP itu dilakukan tiga tahun sekali, dan alasan pemerintah daerah menaikkan tarif NJOP 1000 persen ini karena mereka beralasan sudah lama tidak ada penyesuaian NJOP, ini hal yang salah menurut kami,” ungkapnya.
Karena dianggap terlalu tinggi dan memberatkan masyarakat lanjut Mahrus, DPRD tentu mempunyai kewenangan untuk melakukan evaluasi kenaikan NJOP melalui Badan pembentukan peraturan daerah (Bapemperda) maupun alat kelengkapan dewan lainnya.
”Kita rencanakan untuk memanggil Bupati melalui Bagian Hukum untuk mengavaluasi Perbup yang mengatur kenaikan NJOP ini,” tegasnya.
Berikutnya terhadap usulan penurunan pajak air tanah, Pansus DPRD Banyuwangi sangat memahami argumen yang disampaikan eksekutif. Selain banyaknya komplain atau keberatan pembayaran dari wajib pajak (penguna air tanah), juga adanya Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Timur yang mengatur harga dasar air.
Sebagai contoh, untuk penggunaan air tanah antara 500 hingga 1.000 meter kubik dengan tujuan niaga, tarif pajak yang sebelumnya hanya Rp. 1.050 per meter kubik kini melonjak menjadi Rp. 6.700 per meter kubik. Kenaikan sebesar Rp. 5.650 per meter kubik ini tentu akan berdampak langsung pada biaya produksi bagi pelaku usaha yang mengandalkan air tanah.
”Awalnya kita kurang setuju atas usulan penuruan PAT ini karena selama ini targetnya selalu tercapai kenapa harus diturunkan ternyata ada kenaikan baku air tanah,” jelasnya.
Selanjutnya terkait dengan usulan penurunan pajak tempat hiburan seperti diskotik, tempat karaoke dan klub malam, Pansus tidak serta merta menerima karena penurunan tarif pajak ini akan memberikan ruang atau celah bagi kelompok-kelompok masyarakat menengah ke bawah yang seharusnya private atau hanya bisa dinikmati kalangan berduit.
”Dalam rapat pembahasan tadi ada kesepakatan meskipun belum final akan ada klasifikasi, untuk pajak tempat karaoke keluarga akan dikenakan 40 persen karena target pajaknya tak pernah tercapai namun untuk klub malam dan diskotik diangka 60 persen, sedangkan rate tarif pajak itu kisaran batas minimal 40 persen dan maksimalnya 60 persen,” ucapnya.
Mahrus menambahkan, pihaknya berencana membuka ruang dialog dengan pelaku usaha selaku wajib pajak sehingga kebijakan yang tertuang dalam perubahan Perda PDRD yang dihasilkan dapat lebih memperhitungkan berbagai aspek dan kepentingan yang ada.
Penulis : Qhobid Z