Frensia.id –Sebagai sebuah ibadah, Haji tidak hanya dimaknai kewajiban. Namun harus dilihat dari lanskap esensi haji pada aspek sosialnya.
Cukup disayangkan jika pelaksanaan ibadah haji hanya terfokus pada pemenuhan syarat-rukun saja, tidak menyelami setiap rukun tersebut.
Tulisan ini mencoba menakar makan filosofis dari pelaksanaan ibadah haji tersebut. Bagian pertama ini mengulas dua rukun haji, yakni Ihram dan wuquf. Untuk rukun yang lainnya akan penulis elaborasi di bagian selanjutnya.
Pertama, Ihram
Dalam Kitab Fathul Qaribil Mujib rukun haji pertama, ihram, yaitu berniat untuk haji. Saat berihram semua pakaian baik itu bermerk top atau pakaian biasa harus dilepas dan memakai pakaian ihram.
Pakaian berupa lembaran kain yang dililitkan ke tubuh, biasanya berwarna putih dan tidak dijahit bagi laki-laki, sementara bagi perempuan pakaian yang menutup aurat.
Kenapa harus mengganti pakaian? Haji, ibadah satu-satunya dari rukun Islam yang hanya mengharuskan melepaskan pakaian pribadi dan memakai pakaian khusus (ihram). Ihwal tersebut, menurut Ali Syariati karena pakaianlah yang menutupi watak manusia.
Ia menyebutkan pakaian menunjukkan pola, preferensi, status dan perbedaan. Menciptakan ”batas” palsu akhirnya membuat perpecahan antar manusia, sehingga menimbulkan “aku” bukan “kami.”
Filosofisnya, pakaian ihram melambangkan kesetaraan dan kesamaan. Melepaskan atribusi status sosialnya, harta dan kedudukan dihadapan Tuhan.
Jika dihadapan Tuhan saja atribusi semacam itu harus dilepas, maka dihadapan sesama manusia mestinya lebih tidak layak dipakai.
Segala atribusi pangkat, harta dan status sosial lainya sifatnya hanya hak pakai, bukan milik. Ada limitasi waktu untuk melepaskan itu semua, yakni ketika menjadi giliran menghadap sang khalik.
Itulah ihram, seluruh fasilitas dan atribusi hidup pada akhirnya mau tidak mau harus dilepaskan.
Kedua, Wukuf di Arafah
Waktu pelaksanaannya mulai dari zuhur tanggal 9 Dzulhijjah sampai subuh tanggal 10 Dzulhijjah.
Dikutip dari Nu.Online, Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Idhah fi Manasikil Hajji menyatakan, jamaah haji yang berada di Arafah pada rentang waktu wukuf yang telah ditentukan meski sejenak, dianggap sah wukufnya dan dianggap telah melaksanakan ibadah haj.
Secara bahasa wukuf bisa dipahami berhenti sejenak. Apa maknanya, dalam banyak literatur disebutkan melambangkan berhenti menuruti nafsu duniawi.
Sementara arafah dimaknai mengetahui, yakni merenung untuk mengetahui kekurangan diri sendiri dan semakin mengenal Tuhan.
Jadi, wukuf di arafah ini pada takaran filosofinya melambangkan berhenti dari kesenangan nafsu duniawiyah agar semakin paham dan mengerti hakikat hidup yang selaras dengan ketentuan Allah swt. Taraf memahami diri sendiri dan mengenal Tuhan inilah puncak pengetahuan manusia.
Supaya bisa meraih titik puncak pengetahuan tertinggi ini, setiap manusia (jamaah haji) banyak melakukan kontemplasi atau perenungan. Bersikap jujur membuka diri dihadapan Tuhannya mengenai prilakunya dan mengharap kasih sayang-Nya.
Merenung kenapa masih sulit untuk beribadah, apakah seluruh fasilitas dan atribusi hidup sudah memberikan manfaat bagi orang sekitar? Jabatan yang dimiliki apakah sudah melindungi dan mambantu rakyat kecil? Hartanya sudahkah membantu tetangganya khususnya fakir miskin, dan perenungan lainnya.
Tidak hanya itu, perbuatan baik pun tidak boleh luput dari perenungan wukuf di arafah ini. Apakah amal baik, kewajiban yang sudah dilakukan murni karena Allah, atau justru mengejar penilaian dan popularitas manusia?
Dari kontemplasi itu akan muncul kesadaran untuk menempatkan diri sebagai pribadi yang lebih baik. Mengistigfari kesalahan dan kebaikan yang sudah dilakukan.
Itulah momentum wukuf di arafah, setiap muslim yang melaksanakannya akan menyadari kelemahan dan keterbatasannya.
Sehingga ketika kembali ke tempat masing-masing, mereka menjadi pribadi muslim yang sholeh dan musleh (pribadi yang bermanfaat agi manusia lainnya).(*)
*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Dar Al Falasifah)