Frensia.id – Menyedihkan, namun begitulah yang terjadi. Judi online sebagai patologi sosial yang semakin mudah diakses oleh siapapun, nampaknya tidak hanya menyeruak ke lapisan masyarakat dengan penghasilan rendah.
Namun, kalangan elit yang hidupnya sudah dijamin dan mendapat fasilitas oleh negara, seperti anggota dewan terjangkit pertaruhan yang dibungkus keindahan “siapa tahu rezeki” yang menggiurkan ini.
Tempo hari yang lalu anggota dewan di banyak berita dikabarkan terlibat main judi online, anggota dewan perwakilan rakyat yang turut bermain jumlahnya tidaklah sedikit, dari semua tingkatan mulai pusat ke daerah dan termasuk didalamnya sekretariat kesekjenan.
Menjadi bias dan tidak logis ketika anggota dewan yang nasibnya sudah mapan masih mencari keberuntungan semacam ini. Berbeda dengan masyarakat yang berpenghasilan rendah, mereka terlibat judi online untuk mengadu keberuntungan agar bisa merubah nasibnya jika menang.
Meskipun mereka menang, tentu tidak akan mampu merubah nasibnya, karena rasa penasaran akan membuat pundi-pundi yang mereka dapatkan dipertaruhkan lagi yang pada gilirannya terlilit masalah finansial.
Keterlibatan judi online, terutama dalam konteks mengemban tugas resmi dan amanah yang suci seperti di parlemen, dianggap melanggar nilai-nilai agama dan moral yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para pejabat publik seperti anggota DPR.
Dalam konteks agama, judi dipandang sebagai aktivitas yang merugikan dan semua agama menentang kegiatan yang menjerambabkan pada bahaya yang amat besar ini. Dalam Islam misalnya, larangan berjudi terekam dalam Q.S al-Maidah : 5: 90.
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan ayat 90 al-Maidah tersebut memberikan penekanan kuat terhadap larangan melakukan judi, yang secara spesifik dinyatakan sebagai salah satu bentuk perbuatan (rijs) atau keji.
Semestinya, kegiatan perjudian harus menjadi musuh bersama dengan mengintegrasikan agama dan kehidupan sehari-hari, termasuk di tempat kerja. Dalam konteks pejabat publik seperti anggota dewan, semestinya mereka dapat menghadirkan nilai-nilai religius dalam pekerjaan sehari-hari, menjadikan pekerjaan sebagai bentuk ketakwaan kepada Tuhannya.
Hal tersebut sebagai bentuk realiasi dari salah satu persyaratannya saat mencalonkan anggota dewan, yakni bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 ayat (1) poin (b) Peraturan KPU 10/2023.
Bagi anggota Dewan, persyaratan pada poin ini sangat mendalam dan luas. Melibatkan penerapan nilai-nilai spiritual, moral, dan etika dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat.
Dalam bekerja di ruang-ruang parlemen anggota dewan harus merasakan kehadiran Tuhan yang ikut mengawasi ditempat-tempat mereka bekerja. Tidak hanya takut pada pengawasan CCTV yang sangat mungkin bisa dimanipulasi.
Makna bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi anggota dewan misalnya memiliki integritas dan kejujuran. Anggota dewan yang bertakwa dan sadar akan kehadiran Tuhan dipastikan dalam bekerja menjauhi segala bentuk perilaku tidak etis dan merugikan seperti korupsi, penipuan, dan perjudian.
Selain itu, kesadaran akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan atas amanah yang diembannya, dengan ini mereka lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya.
Anggota Dewan yang bertakwa dan merasakan kehadiran Tuhan akan melihat posisinya sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan bukan sebagai sarana untuk mencari keuntungan pribadi.
Terlibatnya anggota dewan dalam judi online menandakan “kematian tuhan” dalam ruang kerja parlemen. Tuhan hanya dipakai dalam administrasi saat pencalonan saja, selebihnya Tuhan terabaikan.
Istilah “kematian Tuhan” sebagai metafora dari fenomena dekadensi moral, dimana norma-norma etika dan moralitas telah terabaikan atau hilang sama sekali. Seperti praktek korupsi, penggelapan serta konteks saat ini judi online yang sudah menggerogoti anggota dewan.
“Kematian Tuhan” diruang-ruang parlemen menunjukkan hilangnya kesadaran dan penghargaan anggota dewan terhadap nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan oleh agama atau prinsip-prinsip moral universal. Sehingga segala bentuk perilaku yang menabrak nila-nilai moral dan tidak etis seperti korupsi, mabuk-mabukan atau tindakan lain seperti judi online yang semestinya harus dijauhi, justru terjadi.
Tentu, Tuhan tidak akan pernah mati, disadari atau tidak, Tuhan akan selalu mengawasi gerak manusia. Disinilah penting untuk merefleksikan Etika religius Al Ghazali –seorang filsuf dan teolog Islam terkenal– atas pandangannya yang mendalam tentang integrasi agama dan kehidupan sehari-hari, termasuk di tempat kerja.
Perlu adanya penggeseran dari level dogma ke akhlak dan moralitas. Seseorang siapapun itu, khususnya pejabat publik seperti anggota dewan tidak hanya memliki pemahaman teologis yang mendalam (dogma). Namun menginternalisasi nilai-nilai tersebut ke dalam perilaku sehari-hari (akhlak), dan akhirnya menerapkannya dalam tindakan nyata yang bermanfaat bagi masyarakat (moralitas).
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, seseorang dapat menghadirkan nilai-nilai religius dalam pekerjaan sehari-hari, termasuk anggota dewa di ruang parlemen. Mereka aka bekerja diatas pijakan moral dam etika, pada gilirannya perilaku korupsi, penipuan dan sebagainya termasuk judi Online tidak akan pernah terjadi. (*)
* Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al-falasifah)