Penulis: Abdul Aziz, S.H.*
Frensia.id– Pemilihan umum selalu berakhir dengan kontroversi. Sering ada sengketa, antara yang kalah dan yang menang. Parahnya, konflik ini tidak hanya selesai pada pertarungan elit antar kubu yang berkonstestasi, namun juga menjadi konflik yang melebar luar tingkat sipil.
Padahal pemilu disebut sebagai pesta rakyat. Lumrahnya sebuah pesta, mestinya rakyat sipil yang berbahagia tidak berduka, apalagi bertengkar soal perbedaan pilihan politik. Semua tentu paham tentang narasi umum ini.
Hanya saja, benarkah rakyat akan selalu bahagia atau berpesta setiap pemilu tiba? Tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Hal demikian perlu diupayakan seluruh pihak, termasuk rakyat sipil sendiri.
Akar Perampasan Kebahagiaan Sipil Pasca Pemilu
Rakyat sipil dalam setiap pemilu selalu menjadi sasaran hegemoni politik. Sebagai sebuah hegemoni, hal yang dilahirkan adalah ketundukan dan ketaatan politik. Dengan kata lain, setiap aktor politik yang melakukan upaya hegemoni, selalu mendambakan ketaatan dan keterikutan masyarakat pada kepentingannya. Pada kondisi demikian, rakyat sipil tersandera oleh pengarah wacana politik mereka.
Kalahnya kepentingan aktor politik yang diikuti, juga terasa menjadi kekalahan mereka (masyarakat sipil yang mengikutinya). Begitupun yang menang, masyarakat sipil yang mendukung akan berbahagia dan menganggap kemenangan itu milik mereka. Pemimpin yang terpilih hanya milik mereka, bukan milik masyarakat sipil yang kalah.
Pikiran tersebut tampaknya merupakan hal dasar yang menjadi sebab pesta pemilu berubah menjadi arena konflik berkepanjangan. Perbedaan pilihan politik tidak hanya menjadi ikhtiar atau proses pencarian kepemimpinan terbaik. Namun juga menjadi perang simbol kelompok sipil.
Dampaknya, hasil pemilihan baik yang didasarkan quick count maupun real count, terasa tampak seperti informasi tentang takdir hidup dan mati kelompok supporter sipil. Dalam bayangan mereka, masa depan tergantung pada kalah dan menangnya elit politik yang mereka dukung. Asumsi ini yang biasanya melahirkan politik komunal kelompok sipil. Paling beratnya, konflik ini berubah menjadi konflik identitas yang turun temurun.
Jadi, sebenarnya hal yang mengubah pemilu tidak lagi pesta rakyat, adalah hegemoni elit dan pikiran masyarakat sipil sendiri. Hegemoni elit politik melakukan segala cara dan memakai semua medium untuk mendapatkan dukungan dari sipil.
Sedangkan rakyat menerima hegemoninya tanpa pikiran kritis dan menganggap wacana calon politisi sebagai makhluk tak pernah salah serta pantas ditaati mati-matian. Kondisi demikian yang membuat pemilu di Indonesia, setiap tahunnya mencekam.
Upaya Membangun Pikiran Baik Masyarakat Sipil
Ada dua hal yang menjadi akar hilangnya kebahagiaan pasca pemilu, sebagaimana dijelaskan di atas, yakni hegemoni elit dan pikiran masyarakat sipil sendiri. Penulis akan urai satu persatu terlebih dahulu.
Hegemoni tentu bersumber dari kepentingan elit. Mereka yang memiliki kepentingan berebut kekuasaan tidak akan menghindari untuk tak memakainya. Semuanya ingin mendapatkan dukungan, sehingga harus mengupayakan sekeras tenaga.
Hal demikian telah diatur dalam mekanisme legal pemilu di Indonesia. Beberapa di antaranya, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Aturan ini mengatur tentang penyampaian hegemoni secara legal.
Kampanye merupakan proses dan media yang dipakai calon pemimpin untuk berwacana. Seluruh data tentang kebaikan calon pememipin dijabarkan pada proses tersebut.
Dalam aturan yang berlaku, tentu seluruh hal telah jelas diatur. Elit yang melanggar, juga telah ada sanksi yang akan dikenakan. Jadi, sebenarnya tak ada yang salah dalam wacana hegemoni penguasa.
Hal yang bermasalah ada pada pikiran rakyat sipil sendiri. Hegemoni lumrah dalam setiap kontestasi politik. Kebahagiaan pasca Pemilu tidak mungkin hilang, jika masyarakat sipil cerdas memosikan hegemoni elit penguasa sebagai debat dan cara strategis politik yang terjadi secara rasional.
Jika pun ada elit yang melanggar aturan hegemoni atau kampanye, kebahagiaan sipil tidak tentu akan terkorbankan. Jika pun ada suap atau janji manis transaksi jabatan saat kampanye, itu tidak akan berarti, kalau pikiran sipil cerdas menanggapinya.
Misalnya, jika ada calon politik yang berjanji akan memberikan jabatan pasca dia terpilih, tentu tidak akan mudah diterima oleh kelompok sipil yang memiliki pikiran sehat.
Pada kondisi demikian, masyarakat sipil mestinya kritis menanggapi janji tersebut. Pemilu bukan ajang transaksi jabatan, namun ajang memilih pemimpin. Bukan ajang mencari kebahagiaan pribadi, tapi kebahagiaan sesama masyarakat sipil.
Begitupun tentang suap. Jika pikiran masyarakat sipil mengartikan suaranya hanya dinominalkan dengan angka dalam amplop, bukan untuk masa depan bangsa, tentu pemilu tak lebih dari transaksi suara saja. Pasca pemilihan mereka akan bersedih dan itu juga yang menyebabkannya tidak dapat merasaka pemilu sebagai pesta rakyat.
Untuk itu, pasca pemilu tahun ini, sudah saatnya masyarakat sipil mencicil membangun kebahagiaannya. Salah satunya dengan cara melihat kembali proses pemilu sebagai hal yang rasional. Kesalahan dan kesedihan dalam proses pelitik adalah buah pikiran sendiri yang keliru menganggap pemilu sebagai transaksi hidup-mati masa depan pribadi.
Sudah saatnya, masyarakat sipil belajar untuk memosikan setiap hegemoni elit politik sebagai hal yang lumrah dan tak penting untung mendapat pembelaan mati-matian. Biarkan yang terpilih bertanggung jawab mengurus bangsa ini. Dan kita, sebagai masyarakat sipil, bertugas mendukung jika baik, dan menolaknya secara kritis jika mengkhawatirkan pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
- Penulis adalah Advokat asal Kabupaten Sumenep
- Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Frensia.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.