Frensia.id- Pasca Kementerian Agama RI melalui sidang Isbat mengumumkan lebaran jatuh pada 10 April 2024, ramai lantunan takbir. Bukan hanya di Masjid atau Mushollah, namun juga di jalan-jalan.
Mereka yang bertakbir di jalanan, umum memakai Sound System besar yang diangkut dengan mobil. Suaranya tentu menggema.
Apalagi bukan hanya satu mobil, dan diikuti oleh pawai motor di belangkangnya, tampak seolah konser musik berjalan. Ini yang terjadi pada mayoritas masyarakat di daerah Jawa Timur.
Kebiaasan atau tradisi ini disebut sebagaj “Pawai Takbiran”. Keberadaannya membuat takbir menggema bukan di tempat ibadah, namun juga di jalanan dan pasar.
Lantas benarkah hal tersebut tidak melanggar aturan syara’? Apa yang demikian adalah ajaran nabi?
Selain dalil tentang manfaat dzikir ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, menurut Buya Yahya perlu dipahami bahwa takbir ada dua jenis.
Ada takbir Muqoyyad, yang hanya dibaca saat sholat. Ada juga takbir Mursal, yakni dibaca tanpa terikat oleh waktu.
Menurut Buya Yahya, takbir yang dilakukan dipawai obor masuk dalam kategori takbir mursal. Jadi boleh hukumnya.
Kedua, tentang dalil praktik pawai dzikirnya. Pada sisi ini, ada dua riwayat yang dapat dijadikan dasar. Keduanya sebagaimana berikut ini,
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori,
ذَكَرَهُ الْبُخَارِى عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ وَابْنِ عُمَرَ تَعْلِيْقًا أَنَّهُمَا يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوْقِ أَيَّامَ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُالنَّاسُ بِتَكْبِيْرِهِمَا. وَ ذَكَرَ الْبَغَاوِىُّ والبيهقى ذالك وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ مَعَ شِدَّةِ تَحِرَّيْهِ لِلسُّنَّةِ يُكَبِّرُ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الْمُصَلَّى.
“Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar (tanpa sanad) bahwa keduanya pergi ke pasar, pada hari kesepuluh sambil membaca takbir dan orang-orang mengikuti takbir mereka. Hal yang demikian juga diriwayatkan oleh al-Bagawi dan al-Baihaqi, bahwasannya Ibnu Umar itu sebagai orang yang selalu memperlihatkan tuntunan nabi membaca takbir dari rumahnya sampai ke tempat shalat“
Hadist diriwayatkan Ahmad, Ibnu ad-Dunya dan yang lain sebagainya,
حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عله وسلم: مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلَ فِيْهِنَّ مِنْ هذِهِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوْا فِيْهِنَّ مِنَ التَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ وَالتَّهْلِيْلِ (رواه أحمد وابن أبى الدنيا والبيهقى والطبران)
Hadits Ibnu Umar mengatakan: Rasulullah pernah bersabda: “Tiada hari yang lebih besar bagi Allah dan tiada pekerjaan pada hari-hari itu yang lebih disukai Allah dari pada hari-hari sepuluh itu. Oleh karenanya selama itu hendaklah kamu perbanyak membaca” “La ilaha illalla- Allahu Akbar- Al-Hamdulillah”
Berdasar penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pawai takbir yang dikumandangkan pada malam hari raya idul fitrih tidak hanya merupakan ungkapan syukur pada hari yang penuh kegembiraan. Akan tetapi, juga merupakan sebuah bentuk syiar yang menegaskan keagungan Allah.
Jadi, jika pawai takbiran untuk kepentingannya untuk syiar, mengajak untuk bersama bersyukur dan gembira, tentu bisa bernilai ibadah. Namun jika tidak untuk keduanya, bisa jadi perbuatan munkar.
Persoalnya, adalah apakah pawai takbir itu mengganggu orang lain atau lingkungan apa tidak? Misalnya, jika takbir dilakukan secara beramai-ramai di jalan raya, peserta yang terlalu bersemangat mungkin tidak memperhatikan lingkungannya dan ini bisa menyebabkan kecelakaan.
Begitu pula dengan takbir yang keras, terutama jika menggunakan pengeras suara, jika mengganggu, malah bisa saja berdosa. Oleh karena itu, pawai takbiran akan memiliki nilai syiar yang baik jika dilakukan dengan tertib dan tetap memperhatikan lingkungan sekitar.(.)