Bayang-Bayang Orde Baru dan Nir-Empati Komunikasi di Kepresidenan

Sabtu, 29 Maret 2025 - 04:48 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Bayang-Bayang Orde Baru dan Nir-Empati Komunikasi di Kepresidenan (Sumber: Grafis Frensia)

Gambar Bayang-Bayang Orde Baru dan Nir-Empati Komunikasi di Kepresidenan (Sumber: Grafis Frensia)

Oleh: Ahmad Fatoni*

Frensia.id- Cerita tentang Orde Baru sudah akrab di telinga saya sejak kecil. Saya yakin, generasi yang baru menginjak dewasa pun pernah mendengar kisah tentang kepemimpinan terlama di Indonesia, yakni Presiden ke-2, Soeharto. Beliau menjabat dari 12 Maret 1967 hingga 21 Mei 1998, total 32 tahun.

Soeharto dikenal dengan gaya kepemimpinan otoriternya. Pemimpin otoriter biasanya arogan, sulit menerima kritik, menganggap organisasi sebagai milik pribadi, dan cenderung menggunakan paksaan serta hukuman.

Cerita dari orang tua dan guru saya memperkuat gambaran ini. Pada masa itu, kebebasan berbicara dibatasi, pemilu diawasi ketat oleh ABRI, dan pemenangnya? Sudah bisa ditebak—Soeharto lagi. Aktivis yang berani bersuara sering kali diciduk, termasuk guru saya, yang pernah ditarik ke koramil hanya karena berani berekspresi di publik.

Media? Semuanya di bawah kendali pemerintah. Izin penerbitan dan penyiaran harus mendapatkan restu dari Menteri Penerangan, yang tentu saja berada dalam genggaman Soeharto.

Tak heran jika Gus Dur, Presiden ke-4 RI, dalam wawancaranya dengan Adam Schartz, penulis buku A Nation in Waiting, Indonesia in the 1990’s, menyebut Soeharto sebagai seorang diktator. Mungkin, jika saya hidup di zaman itu, saya pun akan berpikir demikian.

Namun, masih ada sisi lain dari kepemimpinan Soeharto yang diakui cukup diukui sukses oleh banyak orang. Ia berhasil menstabilkan ekonomi nasional, membuka peluang investasi, dan membawa pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan Orde Lama.

Tak heran, nostalgia terhadap masa pemerintahannya kerap muncul dalam berbagai guyonan, terutama di media sosial, di stiker bak truk, atau bahkan di meme yang menampilkan foto Soeharto dengan kalimat, “Bagaimana, enak jamanku, to?” Sentimen ini mencerminkan bahwa ekonomi pada masa itu memang lebih stabil, meski dengan konsekuensi sistem pemerintahan yang terpusat dan penuh kontrol.

Hanya saja, di balik stabilitas itu, ada harga yang mahal. Penyalahgunaan wewenang merajalela, korupsi mengakar, dan keadilan sosial tidak merata. Puncaknya? Reformasi 1998 meledak, dan Soeharto akhirnya lengser.

Baca Juga :  BBM Dikadali, Negara ke Mana?

Terbayang Orde Baru

Saya sering membayangkan bagaimana rasanya hidup di zaman Soeharto. Apa jadinya jika saya seorang demonstran yang tiba-tiba diciduk tentara, lalu lenyap tanpa jejak? Bagaimana jika saya seorang penulis yang bukunya dilarang edar karena mengkritik pemerintah? Atau seorang jurnalis yang setiap hari menulis kebobrokan kebijakan, lalu mendadak menerima ancaman atau teror mengerikan—misalnya dikirimi kepala babi atau bangkai tikus bersimbah darah?

Cerita-cerita dari orang tua dan guru membentuk gambaran betapa mencekamnya masa itu. Meski kini kebebasan berekspresi lebih terbuka, tetap ada ancaman lain—misalnya UU ITE yang dianggap bisa menjerat siapa saja yang bersuara terlalu keras. Namun, ingatan tentang Orde Baru tetap melekat kuat.

Bayang-Bayang Orde Baru

Saya tidak ingin asal menuduh bahwa sistem pemerintahan saat ini mengarah ke Orde Baru. Namun, arogansi yang ditampilkan oleh kabinet, DPR, serta para pemangku jabatan di pemerintahan yang baru berjalan dua bulan ini menjadi sebuah indikator kembalinya rezim orba dengan tampilan berbeda.

Saya tidak ingin mencontohkan terlalu banyak arogansi pejabat pemerintah menanggapi isu-isu rakyat. Salah satu yang viral baru-baru ini adalah terkait tagar “kabur saja dulu”. Jawaban pejabat pemerintah terdengar tidak adanya kepekaan sosial.

Kita lihat rangkungkuman dari Tempo misalnya, tanggapan Menteri ATR Bapak Nusron Wahid terhadap tagar tersebut adalah kurang cinta tanah air. Berbeda dengan itu, Kementerian Kependudukan mengatakan tak ancam penurunan populasi. Dengan nada menantang, Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan juga memberikan tanggapan. Ia mengatakan, kalau perlu jangan balik lagi.

Jawaban para menteri di atas tidak menunjukkan jawaban yang solutif sebagai orang yang digaji oleh tuannya (rakyat) di saat sedang risau. Seharusnya, mereka lebih peka terhadap sebab munculnya hastag tersebut bukan menunjukkan keangkuhan dan arogansi. Seperti diketahui, hastag kabur saja dulu muncul sebab adanya kekecewaan dari Warga Negara Indonesia (WNI) terkait keputusan pemerintah yang dianggap tidak memihak kepada rakyat, salah satunya menganai efisiensi anggaran.

Baca Juga :  Ketika Orang Kaya Mengambil Hak Orang Miskin: Fatwa MUI tentang Elpiji dan Pertalite Subsidi

Ini belum tagar-tagar lain yang juga mendapat tanggapan kurang simpatik dari pihak pemerintah. Bisa dikatakan sebagai puncak, ketika Presiden RI Prabowo Subianto juga beberapa kali ikut-ikutan melontarkan kalimat khas arogansi dan tidak menerima kritik serta saran, misalnya bahasa ‘ndasmu’ kepada pengkritiknya tentang program Makan Bergizi Gratis (MBG) di perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-17 Partai Gerindra pada 15 Februari 2025.

Saat muncul tagar Indonesia Gelap, pernyataan nirempati disampaikan oleh Prabowo dengan kalimat ‘yang melihat Indonesia gelap itu siapa?’. Bahkan terbaru Prabowo mengatakan ‘biarkan anjing menggonggong, kita maju terus’. Kalimat ini muncul menanggapi pihak yang berkomentar buruk kepada masa depan Indonesia.  Hal ini mengindikasikan adanya bencana komunikasi di kepresidenan, tidak semuanya, tapi merata.

Ada kemungkinan maksud Prabowo baik dalam menanggapi isu yang muncul. Namun, cara menanggapinya Nampak tidak simpatik dan cenderung mengecilkan masyarakat sipil. Sehingga kerusuhan terjadi di mana. Mahasiswa berdemo karena menganggap keputusan pemerintah tidak berpihak kepada mereka.

Apalagi baru-baru ini, DPRD mengesahkan RUU TNI yang mengindikasikan kembalinya dwifungsi ABRI di pemerintahan. Al-hasil, mahasiswa dan masyarakat menolak undang-undang tersebut.

Mereka tidak mau kembali ke kekacauan masa lalu di mana Tentara, terutama TNI Angkatan Darat menjadi alat Presiden untuk menjaga keamanan sipil. Bayang-bayang orba seakan tampak di depan mata kita.

Bahkan, saat ini saya sebagai penulis berpikir berulang-ulang apakah saya perlu menggunakan nama penulis samara atau tidak? Tapi itu sangat berlebihan. Tabik.

Penulis : * Akademisi dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Cendekia Insani Situbondo

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Takbir Melawan Korupsi
Mudik, Kekayaan Spiritual dan Kekayaan Ekonomi
Zakat dan Tuhan yang Maha Cemburu
Wakil Rakyat Dan Negara Suka-suka
Puasa Kuasa
Mereguk Sahur, Meneguk Cahaya Ramadhan
Viral RUU TNI, Ternyata Munir Juga Menolak Militerisme
Gaji Melimpah! Banyak Profesor Kampus Tak Bernyali di Ruang Publik

Baca Lainnya

Senin, 31 Maret 2025 - 10:50 WIB

Takbir Melawan Korupsi

Minggu, 30 Maret 2025 - 19:33 WIB

Mudik, Kekayaan Spiritual dan Kekayaan Ekonomi

Kamis, 27 Maret 2025 - 18:34 WIB

Zakat dan Tuhan yang Maha Cemburu

Sabtu, 22 Maret 2025 - 18:50 WIB

Wakil Rakyat Dan Negara Suka-suka

Kamis, 20 Maret 2025 - 04:16 WIB

Puasa Kuasa

TERBARU

Ilustrasi Silaturahim Saat Lebaran (Sumber: Generated AI)

Educatia

Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Selasa, 1 Apr 2025 - 08:23 WIB

Kolomiah

Takbir Melawan Korupsi

Senin, 31 Mar 2025 - 10:50 WIB

Gambar Mudik, Kekayaan Spiritual dan Kekayaan Ekonomi (Sumber: Grafis Frensia)

Kolomiah

Mudik, Kekayaan Spiritual dan Kekayaan Ekonomi

Minggu, 30 Mar 2025 - 19:33 WIB