Ber-Pilkada dengan Cinta

Frensia.id- Pilkada bukan urusan siapa yang menang atau siapa yang kalah. Lebih dari itu, Pilkada adalah momen penting untuk sama-sama berupaya mencari pemimpin yang terbaik, dengan mengutamakan kemanusiaan, ditengah perbedaan pilihan politik. Wajar saja, bukan pilkada kalau pilihannya sama.

Sayangnya, realitas yang kerap kali ditemui justru sisi negatif yang terlihat dan terdengar. Ujaran kebencian, fitnah, money politik hingga hubungan antar masyarakat sebagai pemilih berujung renggang dan bermusuhan. Ambisi menang masih menjadi tujuan utama, tidak salah hal demikian, wajar dalam kontestasi, masalahnya ketika kerukunan, kedamaian dan persatuan terabaikan.

Padahal pilkada ini hanyalah proses politik, tujuannya untuk kesejahteraan manusia. Bagaimana mungkin proses yang dirancang memperjuangkan hak-hak rakyat justru merusak nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena itu, Gus Dur, Presiden RI ke 4 pernah mengungkapkan “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”.

Bacaan Lainnya

Ungkapan ini mengingatkan bahwa politik seperti pilkada hanyalah alat untuk mencapai kebaikan bersama. Bukankah politik akan kehilangan esensinya, jika prosesnya justru menyuguhkan perpecahan dan meruncingkan permusuhan? Tidak berhenti disitu, Gus Mus juga memberikan perhatian terkait agar tidak berlebih-lebihan soal urusan pilkada semacam ini

Sahabat karib Gus Dur ini mengingat “orang yang beragama itu diminta oleh agamanya untuk tidak bersikap berlebih-lebihan dalam segala hal, termasuk dalam berpolitik.” Melampaui batas dalam pilkada hingga fanatisme membati buta, menghalalkan segala cara untuk menang, hanya akan membuat duka. Alih-alih merusak proses demokrasi.

Ibarat mencari pemimpin rumah tangga, pencarian pemimpin seperti di Pilkada harus dilakukan dengan cinta. Cinta harus menjadi pegangan dalam proses politik, cinta pada rakyat, persatuaan dan kebaikan bersama. Tanpa cinta, pilkada menjadi momen penuh ambisi, menanggalkan kemanusiaan. Politik yang terlalu panas dan emosional hanya akan menciptakan konflik, tanpa solusi nyata yang membawa kebaikan.

Lantas, bagaimana berpolitik dengan cinta? Ada tiga elemen bagaimana berpilkada dengan cinta. Pertama, Kandidat atau calon. Pemimpin yang pantas jadi untuk dipilih adalah calon yang benar-benar peduli, bukan sebatas retorika janji-janji kosong. Calon yang mengedepankan cinta dapat ditandai dari visi, misi dan programnya, biasanya mengedepankan kesejahteraan bagi semua.

Selain itu, dalam proses pilkada mereka tidak menunjukkan ambisinya dengan menghalalkan pendukung dan timsesnya melakukan segala cara agar menang. Justru sebaliknya, selalu mengedepankan ajakan berkompetisi secara damai, menekankan nilai kejujuran dan merawat kerukunan ditengah masyarakat.

Kedua, pendukung atau Timses. Pendukung dan timses adalah elemen yang tak terpisahkan mewujudkan pilkada damai, merekalah yang aktor di lapangan. Pendungkung yang mengedepankan cinta dalam pilkada akan menjaga hubungan baik dengan siapapun, meski pilihan politiknya berbeda. Tidak terjebak pada fanatisme yang membutakan akal dan hati.

Terakhir, Penyelenggara. Lembaga penyelenggara Pilkada memegang peran kunci untuk menjaga pilkada jujur, adil dan transparan. Penyelenggara yang mengedepankan cinta dalam proses pilkada tidak akan berperilaku culas. Mereka menyelenggarakan hajatan politik ini dengan proses yang bersih dan tegas tanpa berpihak. Hasil yang jujur dengan lapang dada diterima semua pihak. Dengan begitu, pilkada berakhir damai dan memuaskan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Moh. Mahfud MD (1999) dalam Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, ada beberapa indikator utama dalam mewujudkan Pilkada yang demokratis, damai, dan bermartabat. Indikator tersebut mencakup regulasi yang tepat dan jelas, partai politik yang kompeten, pemilih yang cerdas, penyelenggara pemilu independen, dan birokrasi yang netral.

Semua komponen ini harus berjalan selaras untuk memastikan Pilkada tidak hanya menjadi ajang kontestasi kekuasaan. Akan tetapi juga sarana memperkokoh demokrasi dan kesejahteraan rakyat.

Pada akhirnya, pilkada dengan cinta harus mengedepankan kejujuran, kerukunan dan kemanusiaan di atas ambisi politik. Bukan memperuncing perbedaan, namun momen berkompetisi dengan baik, selebihnya mempererat silaturahmi. Politik yang dibangun berdasarkan cinta akan meninggalkan jejak kebaikan. Bukan soal siapa yang menang, tapi bagaimana kerukunan dan sikap saling menghargai menjadi tujuan utama. Ber-pilkada dengan cinta adalah cara berpolitik yang mempersatukan, bukan memecah belah