Frensia.id- Hal yang unik dari budaya lebaran masyarakat Muslim di Indonesia adalah tradisi hari raya ketupat. Biasanya dilakukan di tanggal 7 syawal. Di Situbondo, tradisi ini dikenal dengan istilah tellasan lontong.
Kata tellasan adalah istilah bahasa madura yang maknanya sama dengan hari raya. Yang berbeda tentu adalah lontongnya. Walaupun lontong merupakan juga sejenis ketupat, namun secara bentuk dan dalam hal simbol tradisi keduanya sangat berbeda.
Ketupat berasal dari bahasa jawa, Kupat. Kepanjangannya ngaku lepat yang artinya mengakui kesalahan. Jadi istilah ketupat memang semakna dengan dengan nilai-nilai agama di momemtum lebaran.
Bukan hanya itu, ketupat juga memiliki falsah yang dalam. Diantaranya, bungkus yang terbuat dari janur kuning disimbolkan sebagai simbol penolak bala untuk masyarakat Jawa.
Bahkan bentuknya, yang segi empat dianggap sebagai simbol “kiblat papat lima pancer“. Artinya, menggambarkan bahwa manusia pada akhirnya harus dan akan elalu kembali kepada Allah.
Sedangkan lontong, tentu tidak demikian. Walaupun isinya sama, janur kuning dan bentuknya sudah tak lagi mirip dengan ketupat. Jadi pemaknaan tradisnya dapat saja berbeda atau bahkan bisa hilang.
Menanggapi hal yang demikian, Gus Kholil Syamsuri, asal Sumber Anyar Mlandingan Situbondo mengemukakan bahwa sebenarnya tak ada masalah yang penting dalam perbedaan tersebut.
Baginya, tellasan lontong itu sama dengan hari raya ketupat. Hanya makanannya yang berbeda. Substansi tradisinya masih sama.
“Tradisi tahlil untuk memperingati 6 hari puasa syawal. Bisa disebut tellasan keni’,“ujarnya pada crew frensia.id 15/04/2024.
Jadi walaupun memakai lontong, bacaan dan dzikir yang dipanjatkan tetap sama. Sama dianggap sebagai medium menghayati puasa syawal.
Selain disebut sebagai lebaran lontong, banyak juga menyebutnya dengan hari raya kecil. Disebut demikian, sebab dianggap sebagai hari rayanya ummat Muslim yang melaksanakan puasa selama 6 hari di bulan syawal.
Terkait dengan lontong, menurutnya hanya sebagai pengganti ketupat saja. Ia menduga dulu awalnya, masyarakat Situbondo juga merayakannya dengan ketupat.
Pada perkembangannya,janur kuning mulai sedikit jumlahnya atau langkah. Masyarakat kemudian menggantikannya dengan daun pisang.
“Dulunya ya Janur kuning masih banyak. Kerena lebih mudah mendapatkan daun pisang, ya kemudian lebih milih lontong,” ujarnya.