Denting Nurani di Tengah Dentuman Horeg

Rabu, 16 Juli 2025 - 18:01 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id – Dulu, hiburan rakyat itu cukup dengan kentongan, gamelan lesung, atau radio tetangga yang samar terdengar dari ruang dapur. Kini, zaman sudah berubah. Hiburan berpindah ke jalan-jalan desa, ke hajatan rakyat, diiringi teknologi speaker superbesar dengan nama yang juga unik: sound horeg—suara yang katanya bikin bergetar.

Sound horeg menjadi fenomena sosial yang membelah pendapat. Di satu sisi, ia menghidupkan pesta rakyat, menumbuhkan ekonomi penyedia jasa, penjual makanan, tukang parkir, dan anak-anak muda yang ingin berekspresi. Tapi di sisi lain, dentumannya bisa membuat orang sakit makin tersiksa, anak-anak kesulitan belajar, jendela rumah bergetar, bahkan kadang getarannya ikut sampai ke dada orang tua yang tengah beristirahat.

Kita tidak sedang ingin menyalahkan. Tidak juga hendak menghakimi. Karena semua orang punya hak untuk bahagia. Tapi kita juga tahu bahwa kebahagiaan yang baik adalah yang tidak melukai, dan kebebasan yang sehat adalah yang tidak menabrak hak orang lain.

Maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur pun turun tangan, bukan untuk membungkam suara, tetapi untuk mendengarkan suara-suara yang selama ini tenggelam dalam dentuman. Lalu melahirkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang penggunaan sound horeg. Sebuah fatwa yang bukan hanya soal hukum, tapi juga soal etika, adab, dan tanggung jawab sosial.

Baca Juga :  Wadul Guse dan Paradoksnya

Fatwa itu menimbang dengan sangat hati-hati: ayat-ayat Qur’an yang melarang membahayakan diri (wa laa tulqu bi-aidikum ila at-tahlukah), hadits-hadits Nabi tentang larangan menyakiti orang lain, dan kaidah fikih yang mengatakan: “Bahaya harus dihilangkan.” Bahkan ulama fiqih klasik menekankan, “Mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mengejar manfaat.”

Fatwa ini menyampaikan, jika penggunaan sound horeg dilakukan secara wajar, pada kegiatan yang positif seperti pengajian, shalawatan, atau resepsi pernikahan yang tertib, hukumnya boleh. Tapi bila digunakan secara berlebihan—volume di atas ambang batas kesehatan, disertai campur baur laki-laki dan perempuan yang berjoget membuka aurat, atau membawa kerusakan sosial—maka hukumnya haram.

Pendeknya, bukan alatnya yang salah, tapi cara memakainya yang jadi soal. Sama seperti pisau di tangan tukang masak akan menghasilkan makanan lezat. Tapi di tangan yang keliru, bisa menyakiti.

Fatwa ini juga mengingatkan, dalam kehidupan sosial, tidak cukup hanya berpikir: “saya senang.” Harus juga bertanya: “apakah orang lain tersakiti?” Karena dalam Islam, hak untuk mengekspresikan diri dibatasi oleh hak orang lain untuk hidup damai. Nabi bahkan berkata: “Seorang Muslim sejati adalah yang membuat orang lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Baca Juga :  Perempuan Polos dan Politik

Sound horeg memang bisa menghidupkan pesta. Tapi suara hati dan akal sehat lebih penting untuk menghidupkan nilai. Di tengah kebisingan dunia, kita perlu jeda. Perlu hening. Agar telinga tidak hanya mendengar bass, tapi juga bisikan kasih sayang dari tetangga, guru, atau orang tua yang sedang butuh tidur tenang.

Maka tulisan ini tidak sedang melarang siapa-siapa. Hanya mengajak kita semua untuk menimbang: adakah cara bersenang-senang yang lebih bijak, yang tidak menyisakan luka di telinga dan hati orang lain?

Kita boleh berdendang. Tapi jangan sampai karena nyanyian kita, orang lain menangis. Kita boleh gembira, tapi jangan sampai kegembiraan kita jadi sebab orang lain kehilangan kesehatan atau kenyamanannya. Suara boleh keras, tapi nurani jangan sampai tuli.

Dan di atas segalanya, mari kita jaga suara kita—agar bukan hanya terdengar, tapi juga didengar dan dimaknai. Sebab suara terbaik bukan yang paling keras, tapi yang paling bisa mengetuk hati.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Perempuan Polos dan Politik
Wadul Guse dan Paradoksnya
79 Tahun Bhayangkara: Kita Butuh Polisi Pembela Kaum Lemah
Perguruan Tinggi dan Bahasanya
Garis Laras Pancasila dan Hudaibiyah: Jalan Damai Berbangsa
Ekoteologi Dan Iman Yang membumi
Ramalan Il Principe
Legitimasi Sistem Pendidikan
Tag :

Baca Lainnya

Rabu, 16 Juli 2025 - 18:01 WIB

Denting Nurani di Tengah Dentuman Horeg

Senin, 14 Juli 2025 - 14:07 WIB

Perempuan Polos dan Politik

Jumat, 4 Juli 2025 - 08:05 WIB

Wadul Guse dan Paradoksnya

Selasa, 1 Juli 2025 - 14:01 WIB

79 Tahun Bhayangkara: Kita Butuh Polisi Pembela Kaum Lemah

Kamis, 26 Juni 2025 - 20:06 WIB

Perguruan Tinggi dan Bahasanya

TERBARU