Frensia.id – Dulu, orang tua kita sering menasehati bahwa harta itu seperti air laut: makin diminum, makin haus. Tapi hari ini, tanpa harta, kita justru bisa tenggelam. Lihatlah sekeliling. Sekolah-sekolah Islam butuh dana operasional, pesantren memerlukan biaya renovasi, dan masjid pun tak bisa berdiri hanya dengan doa. Bahkan berdakwah di media sosial pun memerlukan kuota internet, bukan sekadar semangat belaka.
KH. Musleh Adnan, dalam pengajiannya, mengingatkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani:
إِذَا كَانَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ؛ لَا بُدَّ لِلنَّاسِ فِيهَا مِنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ؛ يُقِيمُ الرَّجُلُ بِهَا دِينَهُ وَدُنْيَاهُ. (أخرجه الطبراني في المعجم الكبير).
“Di akhir zaman manusia tidak bisa lepas dari (harus punya) uang (dirham dan dinar), dengan uang ia bisa menegakkan agamanya dan urusan dunianya“. (HR. Imam Ath-Thabrani rahimahullah wafat 918 M di Isfahan Iran dalam Kitab Al-Mu’jam Al-Kabir).
Dirham dan dinar, konteks sekarang finansial atau uang, bukan sekadar alat transaksi, melainkan penyambung antara dunia dan akhirat. Dengan uang, seseorang bisa menjaga agamanya, memperkuat pendidikannya, dan merawat tempat ibadahnya.
Tentu, narasi ini bertentangan dengan pemahaman klasik tentang zuhud yang sering diasosiasikan dengan hidup miskin dan sederhana. Tapi sejarah mencatat, kekayaan bukanlah musuh agama. Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat Nabi, dikenal sebagai saudagar kaya yang membiayai dakwah Islam.
Utsman bin Affan membeli sumur untuk keperluan umat. Bahkan, dalam konteks kekinian, institusi pendidikan Islam modern berdiri megah bukan karena wirid panjang semata, tetapi juga berkat rekening yang sehat.
Realitasnya, agama ini memerlukan dukungan finansial. Bayangkan pesantren yang kekurangan dana hingga santri-santrinya makan ala kadarnya. Atau masjid yang tak bisa membayar listrik, hingga azan hanya terdengar sayup dari corong masjid sebelah. Kita tak bisa terus-menerus menggantungkan keberlangsungan dakwah pada sumbangan sporadis dan infak seikhlasnya.
Namun, memperbanyak harta bukan berarti memupuk keserakahan. Yang dituntut adalah kesadaran bahwa uang adalah alat perjuangan, bukan tujuan akhir. Kekayaan yang diberkahi adalah yang bermanfaat bagi banyak orang, bukan yang disimpan dalam rekening tanpa faedah.
Maka, menjadi kaya bagi seorang Muslim bukan sekadar pilihan, tapi keharusan. Karena di zaman ini, tanpa uang, kebaikan sering kali tertunda, dan kebenaran kerap kehilangan panggung.
Di akhir zaman ini, perjuangan tak hanya membutuhkan doa dan semangat, tapi juga dana. Doa saja tak cukup. Tanpa uang, kebaikan macet, kebenaran redup, dan agama? Bisa tinggal nama. Seperti kata-kata bijak yang patut direnungi “Kalau ingin memenangkan pertarungan, pastikan kau tak datang dengan tangan kosong.”