Frensia.id- Musik dangdut yang kerap diasosiasikan sebagai hiburan rakyat ternyata pernah menjadi objek penelitian akademis yang serius oleh seorang peneliti dari University of California, Riverside. Andrea Louise Decker, dalam tesis Master of Arts yang ia rampungkan pada Juni 2016, mengkaji dinamika gender dalam industri musik dangdut melalui karya berjudul “Performing Gender to Dangdut’s Drum: Place, Space, and Infrastructure in Indonesian Popular Music.”
Dalam studi tersebut, Decker membahas bagaimana identitas gender dipentaskan, dinegosiasikan, dan dibentuk dalam konteks sosial dan industri musik populer Indonesia, khususnya dangdut. Decker memandang bahwa dangdut bukan sekadar genre musik, melainkan sebuah ruang budaya tempat perempuan berjuang membentuk identitas publik mereka.
Dalam industri yang menuntut visibilitas tinggi dan menghadirkan tekanan ekonomi yang berat, para penyanyi dangdut perempuan kerap mengandalkan performa sensual sebagai strategi bertahan hidup. Namun, ketika popularitas mereka meningkat, mereka dihadapkan pada keharusan untuk mengubah citra—menyesuaikan diri dengan selera kelas menengah dan norma penyiaran nasional. Kontradiksi ini menjadikan karier mereka sebagai serangkaian manuver yang kompleks antara tuntutan pasar dan moralitas publik.
Kisah tragis Irma Bule, penyanyi yang meninggal akibat gigitan ular kobra saat tampil, menjadi contoh nyata dari ekstremnya tuntutan dalam dunia dangdut. Irma dikenal karena membawa ular hidup ke panggung sebagai bagian dari pertunjukannya—bukan semata demi sensasi, melainkan juga sebagai strategi mendapatkan upah lebih tinggi dan menjaga diri dari pelecehan penonton.
Dalam konteks ini, tindakan ekstrem tersebut tidak dapat dipisahkan dari tekanan ekonomi dan tuntutan industri yang menjadikan artis sebagai komoditas yang mudah digantikan.
Decker menggunakan konsep Choreographies of Gender dari Susan Leigh Foster untuk membedah bagaimana identitas gender dibentuk dalam dunia dangdut. Ia membedakan antara “koreografi” sebagai sistem nilai yang mengatur ekspresi feminitas dan seksualitas, dan “pertunjukan” sebagai upaya individu untuk menginterpretasi atau menegosiasikan sistem tersebut.
Melalui lensa ini, identitas artis dangdut dipahami bukan sebagai sesuatu yang tetap, melainkan sebagai konstruksi yang terus bergerak, dinegosiasikan ulang, dan dipertaruhkan setiap kali mereka naik panggung.
Salah satu paradoks utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah ketegangan antara kebutuhan akan sensualitas untuk mendapatkan perhatian awal dan keharusan membingkai ulang citra agar “layak tayang” di televisi nasional. Para artis harus mampu menampilkan keseksian untuk menarik massa, namun di sisi lain juga dituntut tampil “bersih” untuk memenuhi standar moral publik.
Proses ini mencerminkan adanya kontrol sosial yang kuat terhadap tubuh dan ekspresi perempuan, sekaligus mengindikasikan keberadaan ekonomi moral dalam industri hiburan Indonesia.
Lebih jauh lagi, Decker menunjukkan bahwa artis-artis dangdut sering kali tidak punya banyak pilihan dalam strategi karier mereka. Ketidakstabilan ekonomi, minimnya perlindungan industri, dan ekspektasi masyarakat yang kontradiktif memaksa mereka untuk terus menyesuaikan diri. Dalam situasi semacam ini, tindakan-tindakan yang dianggap “berani” atau “tidak sopan” justru bisa dilihat sebagai bentuk resistensi dan agensi dalam menghadapi sistem yang menekan.
Tesis ini tidak hanya menawarkan analisis musik dangdut dari sisi estetika, tetapi juga membingkainya sebagai medan perebutan nilai, identitas, dan kekuasaan. Melalui pendekatan interdisipliner yang menggabungkan musikologi, antropologi, dan studi budaya, Decker mengungkap bahwa dangdut merupakan ruang di mana pertarungan antara modernitas, konservatisme, ekonomi, dan gender berlangsung secara nyata.
Penelitian Andrea Decker membuka ruang baru dalam memahami dangdut sebagai fenomena budaya yang kompleks. Ia menghadirkan perspektif empatik terhadap para penyanyi perempuan, bukan sebagai objek hiburan semata, melainkan sebagai agen yang terus berjuang di tengah sistem yang keras.
Dengan demikian, dangdut tampil bukan hanya sebagai musik populer, tetapi juga sebagai panggung politik tubuh dan identitas dalam masyarakat Indonesia yang terus berubah.