Frensia.id – Disparitas gender menjadi indikator dalam melihat pemberdayaan perempuan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 kemarin. Jarak partisipasi laki-laki dan perempuan pada beberapa aspek penitng untuk dikaji.
Meski suara perempuan sering menjadi penentu kemenangan, peran mereka dalam politik masih terbatas pada level pemilih, bukan sebagai pengambil keputusan atau calon kepala daerah.
Hal ini menjadi perhatian Frensia Institute, yang mengkaji disparitas gender dalam Pilkada di Jember dan Lumajang.
Menurut Mashur Imam, analis dari Frensia Institute, partisipasi perempuan dapat dilihat dari dua sisi: sebagai calon politik atau sebagai pemilih.
“Jika partisipasi perempuan sebagai calon sama tingginya dengan laki-laki, itu menunjukkan kesetaraan peran. Namun, bila perempuan hanya dominan sebagai pemilih, ini menandakan minimnya keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan politik,” ujar Imam kepada Frensia.id, 29/12/2024.
Selama ini, partisipasi perempuan yang tinggi umumnya terbatas pada sektor pemberi suara, bukan pada pengambilan kebijakan. Imam menilai, kondisi ini justru memperburuk disparitas gender di daerah tersebut.
“Tingginya partisipasi perempuan sebagai pemilih bukanlah indikator melemahnya disparitas gender. Sebaliknya, ini menunjukkan bahwa perempuan hanya dianggap penting untuk suaranya, bukan perannya,” tegas Imam.
Kasus Jember dan Lumajang menjadi contoh nyata. Berdasarkan data Frensia Institute, disparitas partisipasi pemilih perempuan di Jember mencapai 12,6 persen lebih tinggi dibandingkan laki-laki, sementara Lumajang hanya 6,1 persen. Meski angka ini menunjukkan kesadaran perempuan Jember untuk menyalurkan hak suara lebih besar, Imam justru melihatnya sebagai indikator lemahnya peran perempuan dalam politik.
“Partisipasi perempuan yang tinggi di Jember tidak berarti kesetaraan politik lebih baik. Sebaliknya, ini mengindikasikan perempuan hanya dilibatkan dalam pemilu, tetapi tidak diberi ruang dalam struktur pengambilan keputusan,” ujar Imam.
Kondisi ini diperburuk oleh fakta bahwa Jember belum berhasil melahirkan kepala daerah perempuan, berbeda dengan Lumajang, yang justru memenangkan seorang perempuan sebagai Bupati.
“Lumajang menunjukkan progres yang lebih baik. Kemenangan kepala daerah perempuan di sana mencerminkan bahwa perempuan memiliki peran nyata dalam politik, bukan hanya sebagai objek pemilih,” tambahnya.
Imam juga menyoroti bahwa disparitas gender dalam politik tidak hanya soal angka, tetapi juga kualitas keterlibatan. Perempuan harus diberikan akses untuk berkompetisi sebagai calon pemimpin, bukan sekadar menjadi kelompok yang suaranya diperebutkan.
“Jika kondisi ini tidak berubah, perempuan akan terus terjebak dalam peran pasif, hanya berfungsi sebagai pendukung kemenangan, tanpa kesempatan untuk menentukan arah kebijakan,” jelas Imam.
Ia mengingatkan bahwa keberhasilan politik suatu daerah tidak hanya diukur dari tingginya partisipasi pemilih, tetapi juga dari sejauh mana perempuan dilibatkan dalam struktur kekuasaan.
“Tingginya partisipasi pemilih perempuan di Jember hanya menggambarkan kesadaran memilih, bukan kesetaraan peran. Lumajang, dengan kepala daerah perempuannya, jelas lebih unggul,” pungkas Imam.
Kesimpulan dari kajian ini memperlihatkan bahwa disparitas gender di Pilkada Jember masih menjadi persoalan serius. Tingginya partisipasi pemilih perempuan di sana tidak sebanding dengan minimnya representasi perempuan dalam politik.
Sebaliknya, Lumajang memberikan harapan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin yang dihormati. Pilkada 2024 seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan peran perempuan, tidak hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai pengambil keputusan.