Frensia.id- Diteliti, aksi nekat bunuh diri masyarakat Indonesia ternyata lebih banyak dilakukan oleh laki-laki dari pada wanita. Hal demikian dibuktikan dengan hasil riset kolaborasi akademisi mancanegara dan nasional yang baru-baru ini telah terbitkan.
Sejumlah akademisi dari luar negeri yang berkolaborasi dengan peneliti nasional, dipimpin oleh Sandersan Onie dari University of New South Wales (UNSW Sydney), Australia. Ia bersama rekannya Jane Pirkis dari Australian National University dan dan Mark Larsen dari University of Melbourne, Australia berkolaborasi dengan sejumlah periset nasional.
Hasil risetnya telah diterbitkan dalam bentuk jurnal. Semua dapat mengaksesnya pada The Lancet Regional Health – Southeast Asia pada March 2024.
Mereka melakukan analisis pada data SRS 2018 dan registrasi kematian 2020. Ternyata, terdapat perbedaan yang signifikan dalam rasio bunuh diri antara laki-laki dan perempuan di Indonesia.
Rasio bunuh diri perempuan terhadap laki-laki adalah 1:1,69 berdasarkan data SRS 2018, dan meningkat menjadi 1:2,11 pada data registrasi kematian 2020. Ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih rentan untuk terlibat dalam tindakan bunuh diri dibandingkan perempuan.
Temuan ini sejalan dengan tren global, di mana bunuh diri lebih banyak terjadi pada laki-laki, termasuk di wilayah Asia Tenggara. Tercatat se Asia tenggara rasio 1,57:1 antara kematian bunuh diri laki-laki dan perempuan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan ini bisa bervariasi, mulai dari perbedaan gender dalam pendekatan terhadap masalah mental, hingga akses terhadap sarana bunuh diri. Laki-laki sering kali menggunakan metode yang lebih fatal, sementara perempuan lebih mungkin mencari bantuan atau menggunakan metode yang kurang mematikan.
Hal ini juga dapat dikaitkan dengan ekspektasi sosial dan budaya yang lebih menekan laki-laki. Seringkali mereka untuk mencari dukungan psikologis atau emosional ketika menghadapi krisis mental.
Penelitian di luar Indonesia banyak mengungkapkan adanya perbedaan gender ditentukan oleh kognisi, pengalaman hidup, perilaku mencari bantuan, serta respons terhadap masalah yang terjadi. Perbedaan ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan menghadapi tekanan mental dengan cara yang berbeda, baik dalam cara mereka memproses masalah maupun dalam pendekatan untuk mencari solusi.
Misalnya, laki-laki cenderung kurang terbuka untuk mencari bantuan profesional, sementara perempuan lebih sering mengandalkan dukungan sosial dan layanan kesehatan mental.
Meskipun temuan ini sudah banyak diidentifikasi di berbagai negara, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami bagaimana perbedaan gender ini terwujud di Indonesia. Mengingat keragaman budaya, sosial, dan ekonomi di berbagai provinsi di Indonesia
Heterogenitas tersebut mungkin membentuk interaksi dengan perbedaan gender dalam cara yang unik. Setiap masyarakat memiliki nilai-nilai sosial yang berbeda, misalnya, dapat memiliki pola perilaku mencari bantuan dan respons terhadap masalah kesehatan mental yang sangat berbeda pula antara laki-laki dan perempuan.