Frensia.id- Donna Donna merupakan lagu dengan lirik yang menceritakan rintihan dan ketidakberdayaan bangsa Yahudi di hadapan rezim totaliter Nazi berideologi fasisme, yang dipimpin oleh Adolf Hitler.
Anti-semitisme sebagai salah satu program dari Fasisme Jerman menghendaki untuk memusnahkan orang-orang Yahudi dari muka bumi. Salah satu mekanismenya adalah dengan membawa mereka ke kamp-kamp konsentrasi atau dipekerjakan hingga kelelahan dan kemudian mati sendiri.
Lagu ini merepresentasikan perasaan mendalam yang mencekam diliputi oleh kesia-siaan, keputusasaan dan keinginan kuat untuk bisa hidup.
Adapun lagu Donna Donna dikarang oleh dua orang keturunan Yahudi pada tahun 1941, pertama Shalom Secunda komposer Amerika, yang merupakan seorang Yahudi asal Ukraina. Kedua, Aaron Zeitlin yang merupakan anak dari sastrawan dan penulis Yahudi Hillel Zeitlin.
Baru kemudian pada tahun 1960 lagu ini dipopulerkan oleh seorang penyanyi asal Amerika bernama Joan Baez. Di Indonesia sendiri, Donna Donna dinyanyikan oleh Sita Nursanti dan menjadi soundtrack film Gie.
Secara bahasa, kata Donna mempunyai lirik asli yaitu Dana, dalam bahasa Ibrani diambil dari kata Adonai, mempunyai arti seorang manusia yang meminta pertolongan atau berdoa kepada Tuhan.
Dalam kondisi tidak punya kuasa apapun, hal inilah yang sedang dialami oleh bangsa Yahudi kala itu. Statusnya di dunia tidak punya harapan lagi selain kematian yang semakin dekat dengan cara yang sangat sadis. Lagu yang ditulis pada tahun jaya-jayanya Nazi adalah bentuk lain dari doa yang dilantunkan oleh pengarangnya.
Kedua komposer lagu Donna Donna ini, menunjukkan kelihaian dan kepakaran yang luar bisa dalam menggunakan metafor, lebih-lebih berasal dari bangsa yang menjadi objek kematian itu sendiri.
Salah satunya adalah analogi orang Yahudi dengan anak sapi, sebagaimana diketahui sapi merupakan simbol kesucian dalam tradisi umat Yahudi. Hal tersebut, sebagaimana tertera dalam lirik berikut.
On a waggon bound for market (Di sebuah gerbong yang membatasi pasar)
there`s a calf with a mournful eye. (ada seekor anak sapi dengan mata yang berduka).
High above him there`s a swallow, (Jauh tinggi di atasnya ada seekor burung layang layang),
winging swiftly through the sky. (mengepakkan sayap dengan cepat melintasi angkasa).
How the winds are laughing, (Betapa angin-angin itu tertawa),
they laugh with all their might. (mereka tertawa sekuat mereka).
Laugh and laugh the whole day through, (Tertawa dan tertawa sepanjang hari),
and half the summer`s night. (serta separuh malam musim panas).
Donna, Donna, Donna, Donna
Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna
Donna, Donna, Donna, Don.
“Stop complaining!“ said the farmer, (“Berhentilah mengeluh!”, kata si Petani),
who told you a calf to be? (siapa suruh jadi anak sapi?)
Why don`t you have wings to fly with?, (Kenapa kau tak punyai sayap untuk terbang?),
like the swallow so proud and free (Seperti burung layang-layang yang sangat bangga dan bebas).
Calves are easily bound and slaughtered, (Anak-anak sapi mudah diikat dan dibunuh),
never knowing the reason why. (tanpa tahu alasannya).
But whoever treasures freedom, (Tapi siapa pun yang mencari kebebasan),
like the swallow has learned to fly (seperti burung layang-layang, harus belajar terbang)
Dalam lirik-lirik tersebut posisi dan status bangsa Yahudi adalah anak sapi yang sungguh malang. Bahkan disebutkan berdasarkan lirik yang dinarasikan oleh seorang petani, seolah menjadi seorang Yahudi merupakan sebuah kesalahan itu sendiri.
Akan tetapi dalam penggalan terakhir, pengarang menuliskan sebuah kalimat yang berisi ikhtiyar dan jalan bagi seorang Yahudi apabila menghendaki kebebasan, yaitu sapi harus bisa terbak layaknya burung layang-layang.